BAB
I
BEBERAPA
PENGERTIAN
Arti
dramaturgi
Dramaturgi
adalah ajaran tentang masalah hukum, Dan konvensi drama.
Kata drama berasal dari bahasa
Yunani draomai yang berarti berbuat,
berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya : dan “drama” berarti: Perbuatan,
tindakan.
Ada orang yang menganggap drama
sebagai lakon yang menyedihkan, mengerikan, sehingga dapat diartikan sebagai
sandiwara tragedi.
Komedi
Tragedi
Drama
dapat berupa Komedi (suka cerita) dan
Tragedi (duka cerita). Kekeliruan
demikian terjadi karena kekacauan dengan istilah drama dalam hidup keluarga.
Misalnya drama percintaan yang maksudnya mengandung peristiwa menyedihkan,
mengerikan.
Arti
Drama
-
Arti pertama Drama: adalah kualitas
komunikasi, situasi, action, (segala apa yang terlihat dalam pentas) yang
menimbulkan perhatian, kehebatan (exciting), dan ketegangan pada
pendengar/penonton.
-
Arti kedua: Menurut Moulton, drama adalah
“hidup yang dilukiskan dengan gerak” (life presented in action). Jika buku
roman menggerakkan fantasi kita, maka dalam drama kita melihat kehidupan
manusia diekspresikan secara langsung di muka kita sendiri.
Menurut Brander Matnwes: Konflik
dari sifat manusia merupakan sumber pokok drama.
Menurut Ferdinand Brunetierre:
Drama haruslah melahirkan kehendak manusia dengan action.
Menurut Balthazar Verhagen: Drama
adalah kesenian melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak.
-
Arti Ketiga: Drama adalah cerita konflik
manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan
percakapan dan action di hadapan
penonton (audience).
Arti
teater
Ada
orang yang mengartikan teater sebagai “gedung pertunjukan”, ada yang
mengartikan sebagai “panggung”(stage).
Secara etimologis (asal kata),
teater adalah gedung pertunjukan (Auditorium).
-
Dalam arti luas: teater ialah segala tontonan
yang dipertunjukan di depan orang banyak. Misalnya wayang orang, ketoprak,
ludrug, srandul, membai, randai, mayong, arja, rangda, reog, lenong, topeng,
dagelan, sulapan, akrobatik, dan sebagainya.
-
Dalam arti sempit: Drama, kisah hidup dan
kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh orang
banyak, dengan media; percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor
(layar dan sebagainya), didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni
sastra) dengan atau tanpa music, nyanyian, tarian.
Arti
drama – sandiwara – tonil
Pertunjukan
drama disebut juga sandiwara. Kata sandiwara itu dibuat oleh P.K.G.
Mangkunegara VII almarhum sebagai kata pengganti Toneel, yang pada hayat P.K.G. sudah mulai mendapat perhatian
dikalangan kaum terpelajar. Tetapi, pada waktu itu dan di lingkungan kaum
terpelajar itu yang dipergunakan masih bahasa Belanda. Kata baru “sandiwara”
dibentuk dari kata “sandi” dan “wara”, sandi (Jawa sekarang) berarti rahasia,
dan “wara” (warah Jawa) adalah pengajaran. Demikian menurut Ki Hadjar
Dewantara, sandiwara adalah pengajaran yang dilakukan dengan perlambangan.
Demikianlah kupasan singkat dari
kata sandiwara sebagai penggangti toneel, dan toneel sebagai pengganti kata
drama.
Sebenarnya arti kata sandiwara
lebih kena daripada kata toneel (bahasa
Belanda), yang artinya tak lain daripada pertunjukan. Demikian pula jika
disbandingkan dengan drama dalam bahasa Yunani yang artinya semula-mula tak
lain daripada “perbuatan”, dan kemudian semata-mata perbuatan di atas panggung.
Tetapi sungguh sayang, arti kata
sandiwara yang sedalam itu sekarang merosot, bahkan kata sandiwara bagi umum
banyak menimbulkan rasa “hina” atau ejekan. Apakah sebabnya demikian? Oleh
karena dalam sandiwara memang sering terdapat hal-hal yang kurang baik. Kata
seorang guru atau seorang bapak kepada anaknya, “Jangan main sandiwara kamu!”
Kata sandiwara merosot derajatnya
karena yang menyelenggarakan dan yang memelihara sandiwara kurang cakap atau
kurang baik budinya. Jika kita ingin mengembalikan arti sandiwara seperti yang
semestinya, lapangan sandiwara meminta juga kepada kaum terpelajar, kepada
orang yang cakap, kepada orang yang berjiwa seniman dan berbudi tinggi. (R.B.
Slametmuljana, Bimbingan Seni Sastra, 1951,
halaman 173-174).
Formula
dramaturgi (4 M)
Yang
dimaksudkan dengan formula dramaturgi atau “4 M” ialah:
M1 : Mengkhayalkan
M2 : Menuliskan
M3 :
Memainkan
M4 :
Menyaksikan
M1 : Di
sini untuk pertama kali manusia/pengarang mengkhayalkan kisah: ada
inspirasi-inspirasi, ide-ide (Idea).
M2 : Pengarang
menyusun kisah yang sama (the same idea) untuk kedua kalinya. Pengarang menulis
kisah (story).
M3 : Pelaku-pelaku
memainkan kisah yang sama untuk ketiga kalinya (action). Di sini aktor dan
aktris yang bertindak dalam stage
tertentu.
M4 : Penonton
menyaksikan kisah yang sama untuk keempat kalinya – (Audience).
Tugas dramaturgi ialah
mempelajari keempat proses (4 M) tersebut diatas.
BAB 2
SEJARAH TEATER DI INDONESIA
Sejarah
naskah dan pentas
1.
Sebelum abad ke-20.
Tak
ada naskah dan pentas. Yang ada ialah naskah-naskah cerita rakyat dan
kisah-kisah turun-temurun disampaikan secara lisan oleh ayah kepada anak.
Drama-drama rakyat, istana, keagamaan, di arena, di bawah atap atau lapangan
terbuka.
2.
Permulaan abad ke-20.
Karena
pengaruh drama Barat dan cara pemanggungannya (staging), timbul bentuk-bentuk
drama baru: komidi stambul/istana/bangsawan, tonil, opera, wayang orang,
ketoprak, ludruk, dan lain-lainnya. Tidak menggunakan naskah (improvisatoris),
tetapi menggunakan pentas; panggungya berbingkai.
3.
Zaman Punjangga Baru.
Muncul
naskah drama asli yang dipakai oleh pementasan amatir. Rombongan professional
tidak menggunakannya.
4.
Zaman Jepang.
Sensor
Sendebu sangat keras, diharuskan menggunakan naskah. Rombongan professional
terpaksa belajar membaca. Perkumpulan amatir tidak kaget karena terdiri atas
kaum terpelajar. Bagi para professional merupakan kemajuan, tetapi sayang bukan
karena keinsyafan.
5.
Zaman Kini.
Rombongan
professional kembali membuang naskah. Organisasi amatir setia pada naskah,
sayang sering mengabaikan pengarang, penyadur, atau penyalinnya.
Segi
bahasa
Komidi
stambul dan bangsawan memakai bahasa Melayu karena dimengerti orang-orang di
kota besar, dan juga karena alasan-alasan komersial (perdagangan). Pujangga
Baru menggunakan bahasa Melayu/Indonesia dengan sebab dan tujuan politik.
Sekarang dipakai bahasa kesatuan Indonesia.
Segi
ideologi
Setiap
pengutaran pendapat adalah propaganda. Sejak dahulu drama menjadi alat
propaganda agama, susunan pemerintahan, pandangan hidup, dan lain-lain, tetapi
tidak terlepas dari manusia dan kemanusiaan, tidak terlepas dari zamannya.
Kalau drama menjadi alat
propaganda, bukan berarti kita berlaku seperti tukang pidato pada rapat umum
atau tukang obat yang sedang beraksi. Sebuah pidato dapat merupakan sebuah
hasil seni (baca karya Multatuli), obrolan tukang obat dapat mengasyikkan,
tetapi itu bukan drama, mungkin dramatis.
Drama
kini
Sejak
kemerdekaan, timbul di mana-mana di seluruh pelosok tanah air
perkumpulan-perkumpulan drama amatir, baik dari kaum awam, setengah awam,
maupun ahli.
1.
Naskah
Pementasan
susul-menyusul hingga terasa kekurangan repertoar asli, naskah yang telah ada
banyak yang tidak sesuai dengan zaman. Naskah yang telah ada ditambah repertoar
asing bersama-sama mengalami proses salinan dan saduran. Sayang, sering
pengarang/penyadur/penulis dilupakan.
2.
Pemain
Banyak
pementasan menemui kegagalan. Banyak sebabnya, yang terpenting: kurang mengerti tentang pengetahuan
elementer drama pada pemain dan pemimpin. Mula-mula giat berlatih, kemudian
malas, diburu waktu, usia sangat muda, dan lain-lainnya.
3.
Tempat (stage)
Di
Indonesia kini telah bermunculan gedung-gedung pertunjukan yang disesuaikan
dengan standar universitas, baik stage,
auditorium, maupun arsitektur teater itu sendiri. Dalam kenyataan, pelaksanaan
teater dengan standar Barat dan teater dengan standar Timur. Di sini peranan
tempat teater daerah, seperti pendopo dan sebagainya, menentukan watak
pertunjukannya itu sendiri yang bersifat tradisional.
4.
Penonton (audience)
Masyarakat
cukup mempunyai minat, terbukti dari timbulnya perkumpulan-perkumpulan drama.
a.
Selera
seseorang menentukn hiburannya.
b.
Selera
seseorang tergantung pada usia, pendidikan, lingkungan, kedudukan, pandangan
hidup, dan lain-lainnya.
c.
Salah
satu daya penarik adalah popularitas.
d.
Popularitas
disebabkan oleh pementasan yang baik dan susul-menyusul.
e.
Penonton
tidak boleh dikecewakan.
Bila
kelima syarat di atas dipenuhi, maka kelangsungan kehidupan drama boleh
diharapkan terjamin. Bagaimana memenuhi syarat-syarat tersebut, itulah
persoalan kita bersama untuk dipecahkan.
Bentuk
teater
Fungsi
sebuah hasil seni dalam kehidupan seseorang jelas pertumbuhannya, terutama seni
pertunjukan erat sekali hubungannya dengan emansipasi manusia itu sendiri.
Masalah dan pola pemikiran baru menghendaki bentuk seni atau cara pengutaraan seni yang baru pula. Ia muncul bersamaan
dengan pergeseran nilai-nilai kehidupan. Pertumbuhan seni pertunjukan modern
ini didahului dengan oleh pergeseran di bidang kemasyarakatan. Ia tumbuh
bersama tumbuhnya suatu golongan baru dalam masyarakat Indonesia, yaitu
golongan orang-orang yang hidup di kota-kota.
Di
Indonesia terdapat bentuk teater seperti:
1.
Yang
lahir dalam lingkungan kehidupan desa.
Kegiatannya terikat erat oleh persoalan kehidupan sehari-hari dalam desa, yaitu
adat atau agama.
Contohnya terdapat pada kehidupan teater di
Bali.
2.
Yang
lahir di keratin. Pertunjukan
dilakukan pada upacara-upacara tertentu, sedangkan para pelakunya adalah para
anggota keluarga, bangsawan. pertunjukan dilaksanakan hanya untuk lingkungan
terbatas. Cerita pada umumnya berkisar pada kehidupan kaum bangsawan yang dekat
pada dewa-dewa dan sebagainya. Dunia kenyataan di luar keratin tidaklah menjadi
persoalan.
3.
Yang
tumbuh di kota-kota. Kadang-kadang
masih membawa bentuk-bentuk yang di desa atau keratin. Ia lahir dari kebutuhan
yang timbul dengan tumbuhnya kelompok-kelompok baru di dalam masyarakat dan
sebagai produk dari kebutuhan baru, sebagai fenomena modern dalam seni
pertunjukan di Indonesia.
4.
Yang
diberi predikat modern atau kontemporer. Ia menampilkan peranan manusia bukan
sebagi tipe, melainkan sebagai individu. Dalam dirinya terkandung potensi yang
besar untuk tumbuh, tetapi pada saat ini, ia merupakan teater golongan
minoritas. Ia adalah hasil pencarian yang dilakukan oleh manusia Indonesia
secara terus-menerus.
BAB
3
MASALAH
DRAMATURGI
Bagian
I: Drama dan konflik manusia
1.
Hukum drama
Periksa
tajuk rencana harian pagi. Subjeknya:
lahir dan mati, kawin dan cerai, kejahatan dan hukuman, perang dan damai. Temanya: keberanian dan pengecut,
kesetiaan dan pengkhianatan, keserakahan dan murah hati. Emosinya: kemarahan, cinta, dan benci, ketakutan dan kenikmatan.
Masing-masing adalah kisah awal,
perkembangan (development), kesimpulan dari beberapa kejadiam tentang
perjuangan kemanusiaan; dan ini merupakan bahan (materi, inspirasi) penciptaan
drama. Dasarnya adalah konflik
kemanusiaan yang selalu menguasai perhatian dan minat umum.
Perhatian terhadap konflik ini
adalah dasar dari drama. Ferdinand
Brunetiere mengembangkan konsep tersebut menjadi the law of drama yang berpokok kepada: lakon harus menghidupkan
pernyataan kehendak manusia menghadapi dua kekuatan yang saling beroposisi.
Secara teknis disebut “kisah dari protogonis” yang menginginkan sesuatu, dan
“antagonis” yang menentang dipenuhinya keinginan tersebut.
Protogonis ialah peran yang
membawakan ide prinsipiil, dan Antagonis ialah lawan protogonis yang menentang
ide prinsipiil. Pertentangan di antara dua kekuatan (protogonis dan antagonis)
itu mengakibatkan apa yang dinamakan Dramatic
Action.
2.
Sumber penulisan drama ialah
“Tabiat Manusia”
Yang
harus menpelajari perihal tabiat manusia adalah:
1)
Pengarang
Dia harus mengerti bagaimana dan
untuk apa response (tanggapan) manusia apabila dia menciptakan action manusia
yang wajar.
2)
Aktor/aktris
Tidak mungkin membawakan peranan
hidup tanpa pengertian tentang tabiat manusia.
3)
Sutradara
Mempelajari pengarang dan
aktor/aktris. Bentuk lakon (play) dapat menjadi berbeda-beda seperti realitas,
naturalistis, ekspresionistis, dan sebagainya. Tetapi inti drama tetap masalah
manusia karena dia merupakan dasarnya.
Penyimpangan dari respons yang wajar dapat terlihat pada lakon-lakon yang tidak
wajar, dan hal ini tidak akan diterima oleh penonton.
3.
Kerangka drama adalah “Action”
Konflik
diwujudkan dengan action. Drama memerlukan action yang terbuka karena penonton
hanya menerima maksud berdasarkan action yang dilihat dan didengar. Apabila
terjadi pertentangan dan perjuangan batin, maka hal ini harus diperlihatkan
dengan sebuah action.
Contoh:
Seseorang sedang menunggu di
stasiun kereta api. Dalam kenyataan dia tidak memberikan tanda-tanda pergolakan
emosi dalam hatinya. Dalam pentas emosi ini harus dialih bahasakan menjadi
sebuah action yang kelihatan. Dia
harus membebaskan ketegangan jiwanya dengan kesibukan-kesibukan luar
(lahiriah). Misalnya: sekali-sekali melihat arloji, berdiri dan duduk kembali,
gelisah, pergi menengok pintu masuk dan sebagainya.
Sikap-sikap
membaca surat, menanti, mati, pada saat-saat akhir dapat dilihat dan dialami
penonton. Action semacam itu membawa kehebatan (excitefull) dan daya tarik,
maka jelaslah bahwa action merupakan
kerangka drama.
4. Dasar
action adalah “Motif”
Yang
penting ialah alasan untuk beraction, dan action adalah hasil terakhir tabiat
manusia.
Sumber-sumber motif ialah:
1)
Human
drives (kegiatan, semangat, pendorong)
2)
Situasi:
fisik dan social
3)
Interaksi
social
4)
Pola
watak (character pattern)
Ad 1. Human drives
Kekuatan
yang mengontrol suatu action atau kegiatan manusia (Human Drives) seluruhnya
disebut Basic Drives. Disebut basic karena mereka merupakan fundamen
dari kebanyakan kegiatan dan kehidupan kita. Drives karena mereka bersifat dinamik dan dengan demikian mereka
menjaga, memimpin, dan mengarahkan setiap gerak dan kegiatan manusia.
Menurut W.I.
Thomas: ada empat macam kekuatan dasar (basic drives)
a.
Kekuatan
untuk ketanggapan (response)
b.
Kekuatan
untuk pengakuan
c.
Kekuatan
untuk petualangan (adventure)
d.
Kekuatan
untuk keamanan (security)
Ad 2. Situasi fisik dan social
- Situasi
Fisik: Dua aspek
situasi bisa menyebabkan action dan menunjukkan sumbernya.
Contoh
I:
Seorang prajurit malam hari di
garis depan, menulis surat untuk istrinya atau kekasihnya, dia menyesuaikan
diri dengan keadaan fisik sekitar.
Contoh
II:
Seorang usahawan berbuat hal yang
sama seperti dalam contoh satu, tetapi di dalam sebuah kamar hotel yang mewah.
Nyata
sekarang bahwa penulis lakon/play yang sadar akan motif yang timbul dari
situasi fisik menempatkan peranan-peranannya terkurung, sangatlah merubah
keaktivitetan motif secara logis dalam mengekspresikan ide serta emosi yang
dikehendaki.
Situasi Sosial:
Factor-faktor
sosial seperti perbedaan tempat, kedudukan prajurit dan usahawan, juga mempunyai perbedaan
ketentuan action. Sikap seseorang di dalam gereja tentang berlainan dengan
waktu menghadiri pesta. Perbedaan dalam kesibukan merupakan hasil perbedaan
ukuran sosial yang menentukan sikap di dalam dua tempat.
Ad
3. Interaksi sosial (social interaction)
Jika
dua orang berada dalam kontak sosial langsung, yaitu bila mulai sadar terhadap
satu sama lain, timbullah interaksi sosial. Orang I menggerakkan action orang
II, dan orang II menyebabkakn (motivate) reaksi orang I, dan sebagainya.
Istilah psikologisnya: berkembanglah suatu Circular
Response.
Peransang
(stimulus) dari orang I menyebabkan reaksi orang II. Sebaliknya reaksi orang II
bertindak sebagai perangsang terhadap orang I. konsep atau peristiwa ini dapat
dilukiskan dengan dua jalan:
1.
Circular
Response 2. Serial Response
Orang I Orang II I II
S
R (S) R(S) R
S : Stimulus,
rangsangan
R : Response,
tanggapan,
Jawaban, reaksi,
Gambar 1 menunjukkan proses
berlingkar (tanggapan berlingkar). Gambar 2 memperlihatkan efek berantai.
Reaksi berantai ini disebut tanggapan berantai (serial response). Hendaknya
diingat bahwa tanggapan berantai dan interaksi berikutnya menandakan bahwa
tanggapan (R) mampu bertindak sebagai perangsang (S).
Penjelasan:
Ada
dua orang anak berjumpa di ujung jalan, kita namakan mereka si A dan si B.
Dialog
I : A : “Pulanglah!” –stimulus (S)
B : “Aku
tak mau!” –Response dan Stimulus (R/S)
A : “Kamu
harus pulang!” –R&S
B : “Biarkan
aku!” –R
Dialog
II : A : Pulanglah!
B : Baik,
mari!
A : Oo –
kee!
B : Aku
duluan!
Periksalah
kelompok dialog dengan saksama, Dialog I:
A mendorong B . Response B berlaku sebagai stimulus yang memberikan motif action A selanjutnya. Rangkaian seri bisa sampai
dengan rantainya putus atau aggressor berhenti berusaha. Arah interaksi akan ditentukan
oleh respons-respons dalam rangkaian; ini mudah terlihat dalam dialog II: B memberikan respons terhadap
stimulus B dalam keadaan yang berbeda, akibatnya semua action A dan B berikutnya akan berbeda juga.
Ad
4. Pola Watak (Character Pattern)
Kita
memcoba memperoleh gambaran watak itu, masa lampaunya, pengalamannya, dan
struktur psikisnya. Dalam menyelidiki struktur psikism kita dapat menemukan
tiga pertanyaan tentang sifat-sifat pokok yang dimiliki watak tersebut.
Sifat-sifat pokok ini dapat dipakai sebagai batu penguji untuk memperoleh suatu
pegangan dasar tentang bangunan psikis watak tersebut.
a.
Inteligensi
Inteligensi
dapat diartikan sebagai kesanggupan
seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Makin baik
penyelesainnya, makin tinggi tingkat inteligensinya. Tinggi rendah inteligensi seseorang dapat
menentukan macam tindakan dan pikiran yang diucapkannya.
Ada beberapa macam inteligensi
suatu watak. Inteligensi bisa bersifat abstrak
dan teoritis seperti banyak kita
temui pada para sarjana, di mana logika dan perhitungan dingin menguasai
segala. Ia bisa bersifat intuitif, yaitu suara hati lebih muncul ke depan, dan
orangnya biasanya implusif sifatnya. Ia bisa bersifat praktis seperti kita
temui pada banyak saudagar, pengusaha, dan kaum oportunis.
b.
Hubungannya dengan dunia luar
Cara
seseorang menghadapi dunia lura dan sesame manusia perlu diketahui untuk
memahami suatu watak drama karena sebagian besar penggambaran suatu watak
terletak pada cara ia mereaksi terhadap keadaan kelilingnya dan terhadap
tokoh-tokoh yang ada di sekitarnya.
Menurut C.G. Yung ada dua macam watak/sifat:
Pertama: ekstravert, bersifat terbuka terhadap dunia luar. Ia betah bergaul
dengan orang lain, menyatukan dirinya dengan mudah dengan dunia luar, dan suka
dihargai.
Kedua: introvert, bersifat mengarah ke dalam, suka menjauhkan diri, tidak
begitu senang pada hubungan dengan orang banyak dan suka mengukur
segala-galanya dari pihak dirinya sendiri saja.
c.
Hubungan seseorang dengan dirinya
sendiri
Yang
dimaksudkan ialah: cara seorang manusia menghadapi konflik, pertentangan dengan
keinginan-keinginan yang terkandung di dalam dirinya. Setiap manusia biasanya
berusaha menyembunyikan hal-hal ini dari mata orang banyak. Akan tetapi,
bagaimanapun hal ini disembunyikan, toh ia dapat juga dilihat pada cara
seseorang bergerak, berbicara, dan sebagainya. Biarpun teater berpangkal pada laku, banyak juga dari kehidupan rohani
yang tersembunyi ini yang dapat diperlihatkan.
Drama modern banyak sekali
mengeksploatasi hal-hal seperti ini. Malahan begitu rupa sehingga drama modern
seolah-olah lebih tertarik terhadap konflik tersembunyi (batin) daripada
terhadap konflik lahiriah.
Dalam hubungan seseorang dengan
dirinya sendiri, kita bisa menyelidiki adakah ia mempunyai kepercayaan terhadap
diri sendiri, adakah ia hidup dalam keselarasan dengan dirinya sendiri, dan
sebagainya (lihat Enam Pelajaran pertama
bagi Calon Aktor, terjemahan A. Saini, 1960, halaman 11-13).
Keempat macam sumber motif
tersebut di atas (human drives, situasi fisik dan sosial, interaksi sosial,
pola watak) saling mempengaruhi dan terjalin menjadi satu Motivational Complex yang mempengaruhi setiap laku dan kegiatan
manusia.
Contoh dramatic action sebagai hasil dari motivational complex:
1)
Seorang
pemuda (A) berjongkok di dekat dinding bangunan pada malam buta yang sangat
dingin.
2)
Seorang
pemuda (B) berjongkok bersandar pada dinding bangunan, malam itu sangat
dinginnya. Dengan diam-diam seorang laki-laki bersenjata menghampirinya.
Aplikasi terhadap sumber-sumber motif:
1)
Human
drives:
dalam contoh 1): pemuda A
berlindung
dalam contoh 2): pemuda B
berlindung
2)
Situasi
fisik dan sosial:
Fisik : dalam contoh 1): malam buta, sangat dingin
dalam contoh 2): malam dingin
Sosial : dalam contoh 1): tidak tahu
dalam contoh 2): tidak tahu
3)
Interaksi
sosial:
dalam contoh 1): tak ada
interaksi sosial
dalam contoh 2): ada interaksi
social
(seorang laki-laki menghampiri)
4)
Pola
watak:
dalam contoh 1): rendah diri
terhadap alam sekitar
dalam contoh 2): takut
formula
hubungan unsur-unsur kunci:
yang dimaksudkan dengan unsur kunci ialah motif, action dan konflik.
PROTAGONIS K ANTAGONIS
O
N
F
L
MOTIF
ACTION I ACTION MOTIF
K
Keterangan:
Drama
merupakan kisah pertentangan yang saling beroposisi, di mana tiap kejadian dari
kekuatan-kekuatan khusus action dapat
diketahui pada tiap motif. Dengan demikian maka drama didasarkan atas hukum conflict.
Bagian
II: Drama dan Pengarang
1.
Bahan-bahan untuk mengarang
1)
Karakter
Untuk mengembangkan konflik,
pengarang menggunakan watak manusia sebagai bahan (konflik hidup adalah hukum
drama).
2)
Situasi
Lakon adalah rentetan situasi,
dimulai dengan situasi yang akan berkembang selama action terlaksana. Bahannya bersumber pada kehidupan, sedangkan
seni drama terletak pada penggarapan bahannya.
3)
Subjek
Subjek atau tema iala ide pokok
lakon drama.
2.
Alat-alat pengarang
1)
Dialog
Lewat dialog tergambarlah
watak-watak sehingga latar belakang perwatakan bisa diketahui.
2)
Action
Dalam hal banyak laku (action)
lebih penting daripada dialog karena “laku berbicara lebih keras daripada
kata-kata” karena to see is to believe.
3.
Proses inspirasi yang merangsang
daya cipta (MI & MII)
MI: Inspirasi dapat timbul:
1)
Sendiri
karena pikiran kita menemukan suatu gagasan yang merangsang daya cipta.
2)
Karena
perhatian kita tertuju pada suatu peristiwa baik yang disaksikan sendiri maupun
yang didengar atau dibaca.
3)
Karena
perhatian kita terikat pada kehidupan seseorang.
MII: 4) Daya
cipta tersebut di atas akan kita hidupkan ke dalam sebuah cerita.
. 5) Maka
terciptalah gambar cerita yang masih mentah belum teratur.
. 6) Proses
kristalisasi sehingga kita berhasil merumuskan hakikat (intisari) cerita.
. 7) Saat
kita mendapat rumus intisari cerita (premise).
4.
Proses mengarang (MII)
1)
Seleksi
Dengan hati-hati pengarang
memilih situasi yang harus memberikan saham bagi keseluruhan drama. Dalam
kebanyakan lakon (play), situasi merupakan kunci laku (action).
2)
Re-arrangement
Pengarang mengatur/menyusun
kembali kekalutan hidup menjadi pola yang berarti.
3)
Intensifikasi
Pengarang mempunyai kisah untuk
diceritakan, kesan untuk digambarkan, suasana hati untuk diciptakan. Segala
anasir dalam proses artistik harus direncanakan sedemikian rupa untuk
mengintensifkan (meningkatkan) komunikasi.
5.
Konstruksi dramatic
Ide
klasik dari Aristoteles
Dalam
karyanya, Poetics, Aristoteles
mengetengahkan antara lain teori, analisis, dan hukum puisi dan drama:
a.
Teori
tentang komedi (suka cerita)
b.
Teori
tentang tragedy (duka cerita)
c.
Hukum komposisi drama yang terdiri atas awal, tengah, dan akhir.
d.
Pengetahuan
tentang trilogi Aristoteles: kesatuan
tempat, kesatuan waktu, dan kesatuan kejadian.
1.
Dramatic plot
Arsitoteles Gustav Freytag
(klasik)
(modern)
I.
Protasis …………….
II.
Epitasio …………….
III.
Catastasis
………….…
……………
IV.
Catastrophe
………….
|
Exposition ……………. . (1)
Complication
…………… (2)
Climax ………………..
(3)
Resolution
…………….. (3) A
Conclusion
………………(4)
Catastrophe
…………….. (4) A
Denouement
……………..(4) B
|
Gambar piramida dramatic action
(Gustav Freytag: 1816 – 1895:
Keterangan
mengenai Dramatic Plot:
Aristoteles: Gustav Freytag
I.
Protasis:
permulaan, dijelaskan
peran
dan motif lakon.
II.
Epitasio:
jalinan kejadian
III.
Catastasis:
|
-
Exposition:
pelukisan ……………. (1)
-
Complication:
dengan timbulnya kerumitan
/komplikasi diwujudkan
Jalinan kejadian ………. (2)
-
Climax:
|
Puncak
laku, peristiwa mencapai titik kulminasinya ;
sejak 1 – 2 – 3 terdapat laku
sedang memuncak (rising action)
…………………………
(3)
IV.
Catastrophe:
penutupan
|
-
Resolution:
penguraian,
mulai tergambar
Rahasia
motif ………. (3) A
-
Conclusion:
kesimpulan
………… (4)
-
Catastrophe:
bencana
…………….. (4) A
-
Denouement:
penyelesaian
yang baik (hap
py
ending) ………….. (4) B
|
Ditarik
kesimpulan, dan habislah cerita.
2.
Dramatic tension
Gambar
garis action yang menunjukkan
ketegangan (tension) menurut Brander Mathews, 1852 – 1929:
T
E
N
S
I
O
N
|
Rising
action
Exposition
|
Climax
Complication
|
Resolution
Conclusion
|
|||
BABAK I
|
BABAK II
|
BABAK III
|
TIME
(WAKTU)
Keterangan:
Kenaikan
ketegangan (tension) agak mendekati garis lurus dari piramida. Babak II dan
III: ketegangan mulai menurun sedikit daripada akhir babak yang mendahuluinya
karena kita tahu bahwa penonton harus diberi waktu mendapat kembali
orientasinya atas lakon. Kenaikan ketegangan yang tampak pada akhir babak III
menandakan pengurangan apabila lakon mencapai konxlusi. Dalam sementara lakon,
perubahan ini malah dihilangkan untuk memperoleh titik puncak dengan tutupnya
tirai terakhir.
3.
Trilogi
Aristoteles
a.
Kesatuan
waktu:
Peristiwa harus terjadi
berturut-turut selama 24 jam tanpa suatu bilangan.
b.
Kesatuan
tempat:
Peristiwa seluruhnya terlaksana
dalam satu tempat saja.
c.
Kesatuan
kejadian:
Membatasi rentetan peristiwa yang
berjalan erat, tidak menyimpang dari pokoknya. Sering disebut kesatuan ide.
Penjelasan perihal
Trilogi Aristoteles (The 3 Unites Aristotelse, 3 Ketunggalan Aristoteles).
Kesalapahaman
sering terjadi terhadap penafsiran Trilogi Aristoteles: sebuah lakon harus
hanya berlaku dalam 24 jam (kesatuan waktu), tidak boleh ada pergantian adegan
(scene) (kesatuan tempat), harus hanya mempunyai laku (plot) yang tunggal
(kesatuan kejadian).
Aristoteles sendiri tak pernah
secara tegas mengemukakan hal itu semua, dan tak pula bermaksud agar aturannya
itu dipakai sebagai dogma. Dia hanya akan menyelidiki bagaimana drama itu
disusun, dan dikemukakannya dalam rangkaian komentarnya tentang kesusastraan
masa itu, yaitu yang tercantum dalam serangkaian karangannya yang berjudul
Poetics.
Tentang kesatuan waktu, yang berarti pembatasan waktu, terutama ditujukan
kepada tragedi yang harus berbeda dengan epik, karena epik mempunyai kebebasan
waktu. Sedangkan tragedi waktunya harus dibatasi.
Tentang kesatuan tempat, dia tidak menyebutkan apa-apa. Meski demikian,
pembatasan tempat yang sangat mengikat seperti drama pseudo klasik juga tak
dapat dibenarkan. Yang jelas, memang ada pembatasan-pembatasan dalam drama
Yunani, seperti halnya kini, drama juga terikat oleh syarat-syarat pentas,
tetapi kebebasan bisa terjadi.
Tentang kesatuan kejadian, terutama ditujukan kepada tema dan plot. Tetapi
drama Yunani sendiri sering meninggalkan aturan ini. Fakta yang menafsirkan
bahwa drama harus mempunyai hanya satu tema dan satu plot saja, tetapi ada juga
yang mengetengahkan adanya subplot atau minor
action di samping plot utama sehingga merupakan plot majemuk, asalkan
semuanya membantu penyelesaian plot utama atau plot pokok kea rah satu catastrophe.
Shakespeare kadang-kadang
menggunakan plot kembar dengan cara paralelisme. Yang penting ialah: harus ada
persoalan pokok yang jelas, dan persoalan-persoalan lain mendapat kedudukan
yang kurang penting.
4.
Tiga unsur prinsip dalam drama
a.
Unsur kesatuan
Perhatikan Trilogi Aristoteles:
tentang kesatuan kejadian, tempat, dan waktu.
b.
Unsur penghematan
Karena waktu terbatas, maka
usahakanlah agar dalam waktu yang sesingkat itu dituangkan masalah-masalah
pokok yang terpenting saja.
c.
Unsur Keharusan psikis
Fungsi psikis dalam dramaturgi
klasik ialah:
1)
Protagonis: peran utama (pahlawan,
pria/wanita) yang menjadi pusat cerita.
2)
Antagonis: peran lawan, sering juga menjadi
musuh yang menyebabkan konflik.
3)
Tritagonis: peran penengah, bertugas
mendamaikan atau menjadi pengantara protagonis dan antagonis.
4)
Peran pembantu: peran yang tidak secara langsung
terlibat di dalam konflik, tetapi diperlukan guna penyelesaian cerita.
5.
Drama
modern
Drama
modern mendobrak hukum-hukum tersebut
(Trilogi Aristoteles) di atas.
Drama yang baik harus memilki
kegentingan (spanning) karena waktu yang sesingkat itu penonton harus dibuat
terpikat.
Ada dua macam
kegentingan :
a.
Kegentingan
karena hasrat ingin tahu bagaimana akhir cerita.
b.
Kegentingan
identifikasi karena penonton mengidentifikasikan/mengintegrasikan
diri secara emosional dengan peran bagaimana nasib mereka.
Dua emosi yang
membangkitkan kegentingan :
a.
Emosi pelengkap, yaitu emosi yang mengenakkan.
(Kesenangan-kesenangan yang kita peroleh waktu menonton, kegembiraan itu
memperkaya hidup kita)
b.
Emosi penyelamat, yaitu emosi yang tidak enak
waktu menikmati hasil seni. (misalnya penonton mengidentifikasikan diri dengan
pihak yang menderita, tetapi dia sendiri tidak ingin terlibat dalam
penderitaan, paling-paling hanya menyaksikan)
6.
Konstruksi cerita drama
Naskah
dan lakon
Terlebih
dulu kita menentukan perbedaan antara Naskah
(script) dan Lakon (play).
Naskah adalah bentuk/rencana tertulis dari cerita
drama. Pada music kita mengenal apa yang disebut partitur, score, yaitu suatu bentuk/rencana tertulis dari musik. Musik
menjadi diwujukan setelah partitur, Score
itu dimainkan sehingga terdengarlah getaran nada-nada yang dibunyikan dalam
waktu dan ruang tertentu.
Lakon adalah hasil perwujudan dari naskah yang dimainkan.
Naskah drama karya William
Shakespeare yang berjudul “Hamlet” tetap, tidak berubah, aslinya hanya satu
yang ditulis oleh pujangganya sendiri. Yang banyak tersebar adalah copy-nya.
Lakon cerita drama “Hamlet” hanya
terwujud pada saat terbuka hingga ditutupnya tirai pertunjukannya. Sebelum dan
sesudah saat memainkannya tidak ada lakon “Hamlet”, yang ada adalah naskah
”Hamlet”. Lakon “Hamlet” yang
berkali-kali dimainkan selalu
berubah-ubah
kondisi kualitas artistiknya, bergantung pada siapa dan di mana memainkannya,
sedangkan naskah “Hamlet” tetap kualitas artistiknya.
Komposisi
tiga bahan pokok untuk cerita drama
Cerita
drama digubah dengan tiga bahan pokok, yaitu:
Premise – Character
– Plot.
·
Premise ialah: rumusan intisari cerita
sebagai landasan idiel dalam menentukan arah tujuan ceritera. Ditinjau dari
pelaksanaan merupakan landasan pola bangunan lakon. Istilah-istilah lain yang
sering digunakan adala thema, root, idea,
central idea, goal, aim, driving, force, subject, purpose, plan, basic,
emotion, malahan plot. Jika
digunakan istilah premise, ini telah memuat segala anasir yang digunakan oleh
lain-lain istilah tersebut di atas.
Ferdinand Brunetiere menuntut
adanya a goal in the play to start with, ini
adalah premise.
Jhin Howard Lawson: The root-idea is the beginning of the
process, maksudnya adalah premise.
Brander Matthews: A play needs to have a theme, ini
seharusnya premise.
“Bagaimana Anda bisa menunjukkan
jalan yang akan Anda ambil apabila Anda tidak tahu tujuannya?” Premise akan menunjukkan Anda jalannya,
demikianlah antara lain pendapat Professor George Pierce Baker.
Tidak ada cerita drama yang baik
tanpa premise. Di bawah ini kita kemukakan beberapa contoh.
- ”Macbeth” (William Shakespeare), premiesnya: Nafsu angkaramurka
membinasakan diri sendiri.
- “Tartuffe” (Moliere), premisenya: Siapa yang menggali lubang untuk orang lain, akan terjerumus ke
dalamnya.
- “A Doll’s House” (Hendrik Ibsen),
premisenya: Tak ada keserasian dalam
pernikahan mendorong perceraian.
- “Dead End” (Sidney Kingsley), premisenya: Kemiskinan mendorong
kejahatan.
- “Api” (Umar Ismail), premisenya: Ambisi angkara murka
membinasakan diri sendiri.
Orang
tidak perlu khawatir dituduh plagiat jika premise
yang ditentukannya serupa dengan premise cerita-cerita yang sudah ada. Tragedy Rara
Mendut – Pranacitra, Jayaprana, Layonsari, Tristan-Isolde, Sampek-Ingtai, semua
itu premisenya serupa dengan
“Romeo-Juliet”-nya William Shakespeare.
·
Character, biasa juga disebut tokoh; adalah
bahan yang paling aktif yang menjadi penggerak jalan cerita. Character, di sini adalah tokoh hidup,
bukan mati; dia adalah boneka di tangan kita. Karena Character ini berpribadi, berwatak, dia memiliki sifat-sifat
karakteristik yang tiga dimensional.
Tiga Dimensi yang dimaksud adalah
dimensi Fisiologis, Sosiologis,
Psikologis.
1.
Dimensi fisiologi ialah cirri-ciri badani seperti :
1)
Usia
(tingkat kedewasaan)
2)
Jenis
kelamin,
3)
Keadaan
tubuhnya,
4)
Cirri-ciri
muka, dan sebagainya
2.
Dimensi sosiologis ialah latar belakang
kemasyarakatannya:
1)
Status
social,
2)
Pekerjaan,
jabatan, peranan di dalam masyarakat,
3)
Pendidikan,
4)
Kehidupan
pribadi,
5)
Pandangan
hidup, kepercayaan, agama, ideology,
6)
Aktivitas
social, organisasi, hobby,
7)
Bangsa,
suku, keturunan.
3.
Dimensi psikologis ialah latar belakang kejiwaan:
1)
Mentalitas,
ukuran moral/membedakan antara yang baik dan tidak baik;
2)
Temperamen,
keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan;
3)
I.Q
(Intelligence Quotieat), tingkat kecerdasan, kecakapan, keahlian khusus dalam
bidang-bidang tertentu.
Jika salah satu ciri tersebut
diabaikan, maka tokoh tersebut akan menjadi tokoh yang timpang cenderung
menjadi tokoh yang mati.
Dalam cerita drama “Api” (Usmar
Ismail), pengarang dengan saksama mengisi unsure-unsur dimensi ke dalam diri
tokoh Hendrapati sebagai berikut:
1.
Usianya
48 tahun, tubuh tinggi kurus.
2.
Ia
seorang apoteker. Pendidikan sekolah tinggi Rotterdam, tidak lulus.
3.
Tingkat
hidup termasuk kaya. Kehidupan pribadi/keluarga penuh pertentangan. Bukan
keturunan bangsawan. beristri, anak dua orang sudah dewas.
4.
Watak
dan standar moral rendah. Rasa rendah diri selalu dibawa dala setiap tingkah
lakunya.
5.
Kepandaiannya
tanggung, kecakapannya setengah-setengah, tetapi kemauannya keras, ingin
termashur, terhormat. Terhadap orang lain ingin menang sendiri, tak kenal
kasihan. Materialistis.
·
Plot ialah: alur, rangka cerita,
merupakan susunan empat bagian:
1.
Protasis
2.
Epitasio
3.
Catastasis
4.
Catastrophe
Perhatikan
lebih lanjut bab “Konstruksi Dramatik”. Dengan singkat bisa diambil pokok
persoalan: konflik – krisis – klimaks – penyelesaian.
BAB
4
SENI
PERAN
Seni seorang aktor tidak dapat
diajarkan. Seni ini lahir bersama denga kesanggupan. Akan tetapi teknik yang
dapat digunakan bakatnya – untuk mengutarakan diri – dapat dipelajari.
Pada tahun 1933 di Amerika Srikat
telah terbit sebuah buku yang berjudul Acting: The First Six Lessons, ditulis oleh
Richard Boleslavsky. Buku ini menggemparkan dunia teater di sana karena telah
mengemukakan ajaran-ajaran teknik yang baru yang timbul dari penemuan nilai
baru pada teater, yaitu keagungan penciptaan, kemurnian suatu keindahan,
sesuatu yang lebih besar dari kehidupan.
Siapakah
Richard Boleslavsky itu?
Dia
dilahirkan di Polandia pada tahun 1889. Tahun 1906 dia untuk pertama kali
muncul di pentas. Sejak itu hingga tahun 1915 dia bermain di Moscow Art Theater
dan menjadi direktur studio Art Theater itu. Selama perang dunia pertama
Boleslavsky mengabdi pada Tentara Rusia. Pada tahun 1920 dia tiba di New York.
Di sana ia mementaskan beberapa lakon drama musik (musical), dan kemudian menjadi
direktur pentas pada American Laboratory Theater. Sesudah itu dia menyelidiki
film sebagai media. Dia pergi ke Hollywood dan memimpin dengan hasil beberapa
film, diantaranya: “Les Miserables” dan “Clive of India”, dan menjadi seorang
sutradara Hollywood yang terkemuka. Dia wafat pada tahun 1937.
Boleslavsky
menulis dua buku tentang perang dan revolusi: Way of a Lancer dan Lances
Down. Pujian sastra diberikan orang pada bukunya, Way of a Lancer. Buku ini diberikan julukan bermacam-macam: karena
seorang genie, dokumen manusia
terbaik mengenai kejadian-kejadian sebelum revolusi Rusia,
kisah biografi yang besar, suatu
cara penulisan sejarah baru. Akan tetapi, bagaimanapun ucapan-ucapan lain yang
diungkapkan pembahas, mereka boleh dikatakan semuanya menambah bahwa buku ini
sangat Dramatis, dan jelas sekali
bahwa ia dihasilkan oleh suatu kecendikiawanan yang telah mendapat latihan
dalam Teater.
Benarkah
seorang actor dalam kehidupannya sehari-hari di luar pentas miskin sekali akan
kata-kata?
Suatu
hal yang tidak dikemukakan oleh kebanyakan pembahas mengenai kedua buku
tersebut, antaranya atas buku Lances Down,
ialah bahwa gaya dan cara dia memandang, biarpun sangat Dramatis, tidak ada
sangkut-pautnya sama sekali dengan seni kecakapan seorang pengarang drama. Way of Lancer bukanlah hasil sukma
seorang pengarang Drama yang mengubah pekerjaannya menjadi seorang tukang
cerita, melakukan hasil sukma seorang Aktor.
Seorang
Aktor biasanya miskin sekali kata-kata dan selalu kabur-kabur. Sering dia tidak
tahu apa sebabnya dia melakukan dan bagaimana dia melakukan sesuatu hingga dia
anggap seorang actor. Bahkan biarpun dia tahu, baginya amat sulit untuk
mengatakannya atau untuk menuliskannya. Dia hanya dapat mengutarakan dirinya
dengan gerak, suara, bahasa penciptaan dan penyampaian watak dengan bantuan
perbuatan-perbuatan yang dilaksanakan dan yang tidak dilaksanakan.
Sebaliknya, seorang
Pengarang Drama, dengan mudah dapat
bekerja dengan kata-kata, menulis dengan lancar, menafsirkan sebuah watak,
situasi dn kejadian, adat-istiadat dan cara-cara menurut kehendaknya sendiri.
Kebanyakan tulisasn tentang Seni Berperan,
sekiranya ditulis orang juga, adalah hasil dari pengritik dan pengarang drama.
Itulah sebabnya sedikit sekali karangan yang dapat menjajagi kepandaian seorang
Aktor, baik bagi dirinya sendiri maupun untuk kepentingan rekan-rekannya.
Francois Joseph
Talma (Prancis, 1763-1826), Jhon Philip Kemble (Inggris, 1757-1823), Ernest
Alexandre Honore Coquelin (Prancis, 1848-1909), dan aktor-aktor modern seperti
Louis Valvert dan Stanislavsky muncul ke depan sebagi aktor-aktor yang mencoba
memberikan tafsiran pada seni berperan. Akan tetapi, sumbangan Constantin
Stanislavsky (Rusia, 1863-1938) yang begitu bagus terjalin dalam naskah
biografinya yang diberi judul ”My life in Art”-Kehidupan dalam Seni; sedangkan
usaha-usaha yang dilakukan oleh yang lain-lainnya secara umum sebenarnya tak
lain dari usaha penciptaan sebuah filsafat
untuk para aktor, dan bukan usaha untuk menguraikan unsur-unsur seni
memerankan atau menetapkan sebuah teknik untuk para aktor.
Para aktor pemikir
menciptakan berbagai macam masalah untuk mencari penyelesaiannya atas problema:
-
Apakah
aktor harus mengalami sebuah emosi terlebih dulu, sebelum ia sanggup
menggambarkan emosi itu kembali?
-
Apakah
ia dapat memberikan gambaran yang lebih baik jika ia membaharui emosi itu kembali pada setiap saat ia harus merasakannya?
-
Apakah
acting harus dipisahkan sejauh mungkin dari kehidupan, ataukah harus dibawa ke
tempatnya sedekat mungki?
Berkat contoh-contoh yang mereka
berikan, yang mereka sadap dari pengalaman-pengalaman, tulisan-tulisan mereka
telah banyak membantu memberikan penjelasan dalam lapangan ini. Mereka telah
menjelaskan hukum-hukum pokok berperan ini bagi banyak seniman. Akan tetapi,
mereka tidak ada yang berusaha untuk menolong seorang aktor dalam mempelajari unsur-unsur karyanya. Dengan
demikian boleh dikatakan bahwa hingga batas-batas tertentu esei-esei
Boleslavsky yang terkumpul dalam bukunya, Pelajaran
Pertama Bagi Calon Aktor, yang ditulisnya dalam bentuk percakapan, dapat
dikatakan satu-satunya dalam daerahnya. Meskipun semuanya diturukan dalam cara
yang ringan, tak ada satu kata pun di dalamnya yang tidak sungguh-sungguh dan
penting sifatnya, yang tidak diperhitungkan matang-matang sebagai hasil
penelaahan yang telah bertahun-tahun dialami sebagai aktor dan sutradara
teater-teater seni dan professional, untuk menolong seorang aktor muda dalam
usahanya buat mencapai apa yang ingin dicapainya.
Ikhtisar
ajaran Richard Boleslavsky
Di dalam sebuah teater yang
kreatif, sasaran seorang actor adalah sukma manusia. Berperan, bermain di atas
pentas, adalah memberi bentuk lahir pada watak dan emosi actor, baik dengan
laku atau pun ucapan. Watak yang harus diperankannya itu mempunyai tiga bagian
yang harus nampak, yaitu watak tubuh, watak pikiran, dan watak emosi.
Menciptakan sebuah peranan berarti menciptakan keseluruhan hidup sukma manusia
di atas pentas. Sukma itu harus dapat dilihat dalam segala seginya, baik fisik,
mental, maupun emosional. Di samping itu, sifatnya harus unik.
AJARAN
PERTAMA: KONSENTRASI ATAU PEMUSATAN PIKIRAN
Aktor adalah seorang yang mengorbankan diri. Ia menghilangkan
dirinya untuk menjadi orang lain, yaitu perannya
– misalnya menjadi Hamlet (William Shakespeare, Tragedi 5 Babak, 1603). Untuk melupakan dirinya dan menjadi orang
lain itu pertama-tama ia harus memiliki konsentrasi
yang kuat. Di dalam konsentrasinya itu ia harus menundukkan pancainderanya,
urat-urat dan seluruh anggota badannya. Jika ia memerankan peran Hamlet, maka
ia harus memerintahkan pancainderanya, urat-uratnya, dan seluruh anggota tubuh
Hamlet. Bahkan suaranya harus diperintah untuk berubah. Karena itu, harus
selalu dijaga agar tubuhnya selalu siap dan terlatih.
Agar
aktor menjadi sempurna dalam profesinya, ia harus mengalami suatu Pendidikan
yang terdiri atas tiga bagian:
1.
Pendidikan tubuh
Dilakukan satu setengah jam
setiap hari, selama dua tahun secara terus-menerus, untuk memperoleh aktor yang
enak dipandang mata. Subjek-subjeknya:
a.
Senam
irama
b.
Tari
klasik dan pengutaraan
c.
Main
anggar
d.
Berbagai
jenis latihan bernapas
e.
Latihan
menempatkan suara, diksi, bernyanyi
f.
Pantomim
g.
Tata
rias
2.
Pendidikan intelek dan kebudayaan
Dalam konsentrasinya aktor bisa
memerintahkan pikiran dan intelegensinya sendiri sehingga dapat mengubahnya
untuk pera apa saja yang sedang dipegangnya. Artinya jika perlu ia harus bisa
menjadi bodoh seperti orang bodoh, kacau seperti orang gila, pintar seperti
sarjana, agung seperti raja. Karena itu, aktor sejati dan bermutu harus
memiliki intelektual approach yang
tinggi pula. Subjek-subjeknya:
a.
Pengetahuan
perihal tokoh-tokoh teater seperti Shakespeare, Moliere, Goethe, Calderon de La
Barca; apa mereka perjuangkan dan apa yang telah dilakukan orang di teater
dunia dalam mementaskan karya-karya mereka.
b.
Kesusastraan
Dunia pada umumnya; misalnya membedakan antara Romantik Jerman dan
Romantik Prancis.
c.
Sejarah
seni lukis, seni pahat, seni musik; Bisa mengingat gaya setiap kurun zaman dan
tahu kepribadian setiap pelukis besar.
d.
Psikologi,
memahami psikoanalisis, pernyataan emosi, logika perasaan.
e.
Anatomi
tubuh manusia ciptaan besar seni pahat.
Pendidikan
rohani akan membuat aktor menjadi seorang yang dapat memainkan
peranan-peranan yang serbaragam.
3.
Pendidikan dan latihan sukma
Aktor tak bisa melakukan
kewajiban sebagai aktor jika ia tidak mempunyai sukma yang telah masak begitu
rupa hingga, atas setiap perintah kemauan, segera dapat melaksanakan setiap laku
dan perubahan yang sudah ditentukan. Dengan kata lain, aktor harus mempunyai
sukma yang dapat hidup dalam setiap situasi, seperti kehendak pengarang. Tak
ada aktor besar yang tak memiliki sukma seperti ini. Ini hanya dapat tercapai
dengan jala kerja keras selama waktu panjang, pengorbanan waktu serta
pengalaman, dengan serentetan peranan percobaan. Subjek-subjeknya;
a.
Penguasaan
seluruhnya dan kelima pancaindera dalam segala situasi yang dapat dibayarkan.
b.
Penumbuhan
ingatan perasaan, ingatan ilham atau penembusan, penumbuhan kepercayaan pada
pengkhayalan, penumbuhan pengkhayalan itu sendiri, penumbuhan naivitas,
penumbuhan daya untuk mengamati, penumbuhan kekuatan kemauan, penumbuhan untuk
menambahkan keragaman pada pernyataan emosi, penumbuhan rasa pada humor dan
tragedi.
c.
Ingatan
visual.
Tetapi,
ada lagi satu hal yang tidak dapat ditumbuhkan, tetapi yang sudah harus ada
sejak semula, yaitu Bakat. Apabila aktor bermain sebagai seorang raja, tidak
cukup jika Ia berjalan gagah, duduk tegak di singgasana dengan mahkota di
kepalanya, karena itu hanya permainan lahir belaka. Tetapi ia harus
melaksanakan permainan dalam, permainan yang lahir dan sukma, ini berarti bahwa
ia harus bisa mengubah sukmanya menjadi sukma seorang raja. Oleh sebab itu ia
harus mempunyai keahlian menumbuhkan kepercayaan pada pengkhayalan.
Bagi Bolesavsky, teater adalah
suatu misteri besar, suatu misteri di mana dikawinkan dengan selaras sekali dua
gejala abadi, yaitu:
a.
keinginan pada kesempurnaan,
b.
keinginan pada keabadian.
Hanya
pada teater seperti mi kita dapat menyerahkan seluruh kehidupan kita.
AJARAN KEDUA:
INGATAN EMOSI
Aktor;
harus berlatih mengingat-ingat segala emosi yang terpendam dan halaman-halaman
sejarah yang telah silam. Semua itu sekali waktu akan berguna untuk menolong
aktingnya karena emosinya harus bisa berkembang sesuai dengan situasi apa saja
yang terdapat dalam sebuah cerita. Kadang-kadang ia harus bersedih sebagai King
Lear yang terlupakan dan dikhianati, kadang-kadang ia harus mabuk asmara
sebagai Romeo, dendam sebagai Hamlet. Dan tidak jarang aktor bisa benar-benar
menangis sedih di atas pentas dalam suatu adegan sedih karena mengingat kembali
hal-hal yang sedih di biasa kecilnya.
Aku
: Jadi
kau harus merasa sedih dan gembira sekaligus. Cemerlang dan sendu sekaligus.
Gadis
: Ya.
Aku tidak dapat merasakan keluar perasaan sekaligus.
Aku
: Tidak
ada orang yang bisa. Tapi kita bisa menjadi orang yang merasakan itu.
Gadis : Tanpa
merasakannya sendiri Bagaimana mungkin?
Aku
: Berkat
bantuan ingatan aku sadarmu - ingatan pada perasaan.
Gadis
: Ingatan
perasaan tak sadar? Ada tuan mau mengatakan, bahwa aku harus mengingat
perasaan-perasaan dengan tak sadar?
Aku
: Bukan.
Kita mempunyai suatu ingatan khusus buat perasaan-perasaan Dan ingatan ini
bekerja sendiri dan untuk diri sendiri, tanpa di sadari. la ada. Ada pada
setiap seniman. Ini yang membuat pengalaman beroleh tempat pokok dalam
kehidupan dan pekerjaan kita. Yang harus kita ketahui cuma bagaimana cara
mempergunakannya.
Gadis
: Tetapi,
di mana ia berada? Bagaimana caranya kita memperolehnya Apa setiap orang tahu
tentang ini?
Aku
: Oh,
banyak juga yang tahu. Yang mula-mula berbicara tentang ini, 20 tahun yang lalu, ialah ahli ilmu jiwa
Prancis: Theodule Ribot (Pro bieynes de
Psycho logie Affective, Felix Actan, Paris), Ia menamakannya ingatan pura-pura
atau ingatan pada kepura-puraan.
Gadis : Bagaimana
caranya bekerja?
Aku
: Melalui
segala perbuatan atau manifestasi kehidupan kita dan berkat kepekaan kita
terhadapnya.
Teater
adalah tempat kita memperlihatkan sesuatu yang sebetulnya tidak ada. Jika kita
bercinta di atas panggung, apakah kita betul-betul bercinta? Jika kita berpikir
logis, kenyataan di sini kita ganti dengan ciptaan. Ciptaan ini harus nyata,
dan ia adalah satu-satunya kenyataan yang benar yang boleh ada di sana. Jangan
meniru, sebab meniru adalah salah, tetapi ciptakan, sebab mencipta adalah
benar. Boleslavsky memberi nasihat kepada para aktor sebagai berikut:
Perhatikàn segala apa yang terdapat di sekitarmu pandang dirimu dengan penuh
kegembiraan. Kumpulkan dan simpan dalam jiwa, semua kekayaan dan kepenuhan
hidup. Simpan dan susun ingatan dari kenangan ini. Siapa tahu, satu hari mereka
kita perlukan. Mereka adalah satu-satunya sahabat dan guru dalam karyamu.
Mereka adalah cat dan kwas bagi aktor, seandainya aktor seorang pelukis. Dan
mereka akan membawakan hadiah bagimu. Mereka adalah kepunyaanmu. 1 milikmu
sendiri. Mereka buka tiruan, dan mereka akan memberikan pengalaman,
ketelitian:, ekonomi, dan kekuatan kepadamu.
AJARAN KETIGA: LAKU
DRAMATIS
Jika
kita sudah dapat menggali ingatan emosi, barulah kita wujudkan dalam Laku Dramatis,
yaitu perbuatan yang bersifat ekspresif dan emosi. Inilah yang merupakan
instrumen dalam seni teater, seperti warna dalam lukisan, bentuk tetapi sebuah
patung, nada dalam musik. Aktor harus mewujudkan yang diutarakan oleh pengarang
dengan kata-katanya di dalam laku dramatisnya. Sebab, bagi laku inilah guna dan
tujuan karangannya yang harus diperIihatkan oleh para aktor, Di sini aktor
sebagai seniman bersifat reproduktif dan kreatif sekaligus.
Dalam usahanya, laku tiap aktor
harus dikordinasi oleh tafsiran tunggal sutradara sebagai ide pokok, sedangkan
ide-ide para aktor merupakan cabang-cabang yang menampung pada ide pokok, yang
keseluruhannya diwujudkan dalam satu suguhan yang utuh dan lengkap.
Hukum
Trisesa
la
adalah hukum laku alam yang terdiri atas Leitmotif (ide pokok),
bagian-bagiannya, perwujudannya dalam ketunggalan yang menyeluruh.
Pada
pohon kita lihat:
- Pertama: Batang besarnya, idenya,
pokok pikirannya di pentas hal ini datang dari sutradara.
- Kedua: Dahan-dahannya,
unsur-unsur ide, bagian-bagian dan pokok pikiran; ini datang dari aktor.
- Ketiga: Daun-daunnya, merupakan
hasil dari kedua benda pertama (batang dan dahan), penyuguhan satu ide yang
cemerlang, kesimpulan cerah dari satu pemikiran.
Gadis
: Di
mana kedudukan pengarang di sini?
Aku
: Ia
adalah air yang mengalami dan menghidupi seluruhnya ini.
AJARAN KEEMPA T:
PEMBANGUNAN WATAK
Demikianlah
maka aktor lalu mendapat gambaran tentang peran yang akan dipegangnya. Kemudian
gambaran ini harus diperjelas lagi dengan jalan:
1.
Menelaah struktur psikis peran
a.
Bagaimana intelegensinya Misalnya inteligensi Hamlet apakah la seorang petani
yang bodoh atau seorang yang terpelajar?
b. Bagaimana sikap wataknya ke luar Angkuh. kasar
tegas, ragu-ragu, pendiam, pembual, pemalu.
c. Bagaimana wataknya ke dalam? Watak ke dalam
sering berlainan dengan watak yang kelihatan ke luar. Orang yang kelihatan
kasar sering punya sifat adil dan penyayang, seorang pendiam sering mendendam
terhadap kehidupan serta punya sifat kejam, dan seterusnya.
d. Bagaimana pengaruh masa Iampau peran itu
Misalnya, masa lampau Hamlet yang penuh jalinan kasih sayang dengan ayahnya
hendaklah selalu membayang dalam aktingnya meskipun ceritanya dimulai setelah
sang ayah wafat.
e. Bagaimana kedudukan sosial peran itu? Apakah
Hamlet anak seorang kebanyakan ataukah anak raja zaman dulu? Hal ini menentukan
pula bagaimana aktingnya.
2.
Memberikan identifikasi
Yaitu
laku-laku yang mengungkapkan watak-watak tersebut. Menyelidiki setiap detail
kehidupan peran harus dilakukan dengan teliti. Tokoh Hamlet harus dikaji
benar-benar tentang caranya berjalan, berdiri, tertawa, dan sebagainya.
Identifikasi yang terutama harus diperhatikan ialah identifikasi yang paling
hakiki Seorang aktor bisa. melihat kepada dirinya sendiri apakah identifikasi
peran yang akan dipegangnya ada terdapat pada dirinya sendiri (jika ada, ini
mudah menirunya). Kalau tidak ada, adakah identifikasi itu pada diri
kawan-kawan, kenalan, tokoh-tokoh di sekitarnya? (Kalau ada, bisa dicoba untuk
menirunya dengan teliti). Kalau tidak, seorang aktor bisa pula mempergunakan
konstruksi dengan memperhatikan gambar-gambar, foto-foto, patung-patung, dan
sebagainya. Misalnya, dan gambar atau patungnya bisa dilihat bagaimana gaya
Julius Caesar berdiri, menatapkan mata, dan sebagainya.
3.
Mencari hubungan emosi dengan peran itu
Hendaklah
dicari hubungan antara naskah dengan emosi. Dalam hubungan ini yang tepat ialah
bahwa naskah harus keluar dan emosi yang kita rasakan, bukan sebaliknya. Kita
harus aktif, mulai menghidupkannya, menggunakan naskah.
4.
Penguasaan teknis
Yaitu
penguasaan diksi, mimik, gerak, dan pantomimik. Di dalam setiap ucapan dan
akting harus tergambar situasi watak yang tersembunyi di baliknya. Dalam
penguasaan teknis, kita dapat membedakan dua hal yang harus kita selesaikan:
Pertama
: Di
sini. kita membangunkan pengertian situasi dramatis di mana kita harus
mengucapkan naskah itu.
Kedua
: Kita
berusaha dengan bantuan suara dan tubuh sehingga terdapat persesuaian antara
ucapan dan perbuatan kita.
Emosi diperlukan untuk memberikan
kedalaman pada watak yang kita mainkan, sedangkan penguasaan teknis kita
perlukan untuk memberikan bentuk teater padanya.
AJARAN
KELIMA:OBSERVASI ATAU PENGAMATAN
Seorang
aktor harus merupakan, seorang observator kehidupan. Ia harus belajar
memperhatikan cara orang merangkul, mempergunakan gergaji, pelayan melayani
guru berdiri di depan kelas, orang tua minum teh kental, pecinta burung
menikmati kicau burungnya, dan serbu hal Yang lain lagi. Semua itu nanti akan
berguna bagi karyanya di atas pentas, yaitu dengan ahli ia akan bisa meniru
semuanya itu. Akto harus rnemasuki segala kehidupan dan mengambil pengalaman
serta catatan dari semua itu.
Boleslavsky
bertanya: Dapatkah Anda meniru gerakan orang membuka pintu? Secara abstrak
Artinya, pintunya tidak ada, jadi Anda hanya melakukan gerak seakan-akan.
membuka pintu yang tertutup lengkap. Bisakah? Silakan coba!
Pada
percobaan pertama, barangkali Anda lupa membuka grandel atas dan mencapai bawah
tidak di tempat yang selayaknya. Tetapi, jika Anda mengerjakan semua ini
setelah mengadakan observasi yang teliti pasti tugas itu akan bisa Anda
kerjakan dengan lebih sempurna pula.
Achtungspiele -
latihan untuk menumbuhkan ingatan.
Di
taman kanak-kanak Jerman ada sebuah permainan yang mengasyikkan sekali. Nama
permainan itu Achtungspiele, Guru menyuruh anak-anak mengulangi nukilah-nukilah
kegiatan mereka, hal-hal yang telah mereka lakukan hari mi, kemarin, beberapa
hari yang lalu. Sambil murid kembali perbuatan-perbuatan meneka, ia dapat
mempertajam indera mereka untuk mengamati. Kadang-kadang anak-anak
diperbolehkan memilih keinginannya sendiri, lalu guru mengambil kesimpulan ke arah mana perhatian
anak itu tertumpah. Arah ini mungkin dikembangkannya, dirawatnya atau, kalau
anak itu memperlihatkan arah yang tidak baik, ia dapat memberitahu orang tua si
anak dan rekan-rekan pengajar lainnya. Misainya seorang anak memilih untuk
mengingat sikap-sikap yang sadistis. Ia tidak dihukum, tetapi guru berusaha
untuk mengarahkan perhatiannya ke suasana yang lain. Akan menarik jika
permainan tersebut di atas kita suruh mainkan oleh orang dewasa. Menarik, sebab
permainan ini akan memperlihatkan bagaimana sedikitnya kita, orang dewasa,
mempergunakan suatu pemberian alam yang indah sekali, yaitu kesanggupan untuk
mengamati, untuk mengadakan observasi. Fakta menunjukkan bahwa hanya sedikit
sekali orang dewasa yang dapat mengingat apa yang telah diperbuat atau
dilakukannya dalam masa 24 jam terakhir.
AJARAN KEENAM:
IRAMA
Agar
lakon itu dapat menghanyutkan para penonton ke arah yang dituju, tanpa
disadari, maka permainan itu harus mempergunakan Irama. Dalam teater digunakan
istilah “tempo” atau “kecepatan”, tetapi sebetulnya kata ini tak ada hubungan
apa-apa dengan irama.
Perumusan
yang agak kena dan dapat dipergunakan bagi setiap seni adalah: Irama harus
dipahami sebagai perubahan-perubahan yang teratur dan dapat diukur dari segala
macam unsur yang terkandung dalam sebuah hasil seni dengan syarat bahwa semua
perubahan secara berturut-turut merangsang perhatian penonton dan menuju ke
tujuan akhir si seniman.
Perumusan
tersebut di atas kedengarannya metodis sekali karena ia baru awal suatu
pemikiran, dan bukanlah satu-satunya perumusan yang benar.
Gadis : Mula-mula
Tuan mengatakan: “Yang teratur dan dapat diukur”. Tetapi, misalkan aku
menciptakan “kacau”. Bagaimana ia bisa teratur dan dapat diukur?
Aku
: Kau
lupa kata “perubahan-perubahan”. Hasil senimu “kacau” itu, jika ia betul
begitu, harus mengandung sejumlah gerakan yang bertentangan. Mereka itu mungkin
kacau-balau sesuai dengan kehendakmu sendiri. Tetapi, perubahan dari yang satu
kepada yang lain harus teratur sifatnya. Hanya seorang seni yang dapat
mengusahakan ini. Jika kau ingat akan fresko-fresko Michelangelo di loteng
Sistine, dan jika kau ingat bahwa, jika diturunkan dari bawah hingga ke atas,
mereka memberikan gambaran dan “kekacauan” yang sempurna, suatu prototipe dan
penciptaan. Ambil reproduksi fresko-fresko itu dan kembangkan di depanmu di
atas meja. Sepintas saja akan terlihat bahwa gambaran itu adalah suatu
“kekacauan” yang dikarang dan perubahan-perubahan segala unsur yang terdapat di
dalamnya ‘‘teratur dan dapat diukur’’.
Gadis : Aku
ingat fresko-fresko itu. Tuan memang benar, tetapi aku belum lagi puas. Apa
yang Tuan maksudkan dengan “perubahan-perubahan”? Semacam fluktasi?
Aku : Aku
Bukan, bukan fluktual. Perubahan, Barangkali aku dapat menerangkannya lebih
jelas dengan mengambil contoh yang lain. Kau ingat “Santapan Penghabisan”,
lukisan Leonardo dan Vinci?
Gadis : Ya.
Malahan ingat sekali. Aku telah mempelajari gerakan-gerakan semua tangan yang
kelihatan di dalam lukisan itu. Aku hafal gerakan-gerakan ini, dan aku dapat
melakukan semuanya dengan wajar dan bebas.
Aku
: Baiklah.
Yang menjadi unsur di sini adalah tangan. Tangan di sini berubah posisi
sebanyak 26 kali; 23 kelihatan dan yang 3 lagi tidak. Jika kau hafal
posisi-posisi dan kau dapat berubah dari posisi yang satu ke posisi yang lain
dengan bebas, sambil memperbesar artinya setiap kali kau mengadakan perubahan,
maka kau akan mencapai irama hasil
seni yang besar itu.
Gadis : Bukankah
ini yang dilakukan oleh penari-penari Isadora Duncan dan Angna Enters?
Aku
: Memang.
Gadis : Aku
mengerti. Satu pertanyaan lagi. Di atas lukisan “Santapan Penghabisan” itu
tangan-tangan berubah, tetapi sekaligus mereka diam tak bergerak sama sekali.
Bagaimana kita bisa mempergunakan kata irama di sini? Bukankah irama hanya
dipakai dalam hubungan dengan gerakan?
Aku
: Batasnya
tak ada. Bungkah es di gunung hanya bergerak 2 inci selama satu abad; seekor
burung layang-layang terbang sejauh 2 mil dalam waktu 1 menit keduanya punya
irama. Luaskan ide ini dari bungkah es kepada suatu kekakuan yang teoritis
sifatnya, dan dari burung layang-layang itu kepada kecepatan kilat teoritis.
Irama akan dilingkupi dan membawa mereka semua dalam ruangan lingkup
masing-masing. Hidup berarti punya irama.
Gadis : Bagaimana
dengan “unsur-unsur”?
Aku
: Mudah
sekali. Nada, gerak, bentuk, kata, laku, warna segalanya, yang dapat membuahkan
hasil seni.
Gadis : Bagaimana
kita dapat mempergunakan kata-kata “perubahan teratur dan dapat diukur” pada
warna di atas kain lukisan?
Aku
: Ambil
sebagai contoh “Budak Biru” lukisan Gainsborough. Warna yang paling berkuasa di
sini ialah biru. Warna ini berubah-ubah berkali-kali, tak terhitung berapa
kali. Setiap kali perubahan yang terdapat jelas batas-batasnya dan
hampir-hampir tak diketahui sama sekali. Semuanya teratur. Bermacam-macam
peniru telah mencoba untuk mengukur jumlah warna indigo yang terdapat pada
setiap perubahan. Umumnya mereka tak berhasil, tetapi ini tak berarti bahwa
warna ini tak dapat diukur, sebab pengukuran ini pernah dilakukan sekali yaitu
oleh pencipta aslinya.
Gadis : Mari
kita tinggal pada contoh yang satu ini. Bagaimana caranya perubahan-perubahan
warna biru ini merangsang perhatian penonton?
Aku
: Dengan
jalan menghidupkan, rasa ingin tahunya sehingga ia ingin melihat pada warna
yang bukan biru.
Gadis : Maksud
Tuan ... ?
Aku
: ....
wajah “Budak Biru” yang pucat dan berwarna kuning jambu air yang halus itu.
Gadis : Benar.
Dan ini menuju kepada tujuan si seniman yang terakhir, terakhir, yaitu wajah
budak itu.
Sebuah lakon mempunyai irama.
Irama itu berjalan ke arah klimaks. Tanpa irama pasti akar. membosankan
menonton. Aktor harus mempunyai kemahiran menunjukkan irama ini. Ia harus
berlatih memikat perhatian penonton, dan menuntun perhatiannya ke arah klimaks.
Sebab itu, seorang aktor harus melatih dirinya perasa terhadap segala irama
seperti musik, gerak garis, gerak tari, bahasa, warna dalam, lukisan, karena
api, air kali, khotbah, api, dari sejuta irama yang bermacam-macam sifatnya.
Demikianlah
keenam ajaran. Bolesiavsky. Tuntutannya memang tinggi dan sulit. Cita-citanya
akan teater juga tinggi, terutama cita-cita tentang the art of acting. Dari ajarannya
dapat ditarik gambaran yang jelas, bagaimana seorang aktor yang sejati. Aktor
bukannya seorang yang punya hobi berperan, tetapi baginya akting adalah
sebagian dari hidupnya.
Keterangan:
Aku =
Richard Boleslavsky
Gadis = calon aktris
BAB
5
MASALAH
PERMAINAN
1.
Unsur permainan dalam drama
Teori
sumber permainan terbagi dalam empat kategori:
1)
Permainan merupakan jalan keluar
bagi energi yang berkelebihan.
Manusia tidak cukup mendasarkan kekuatan hidupnya pada pekerjaan rutin,
sehingga berbuat sesuatu yang lain; karena itu mereka bermain. Pendapat ini
tidak memuaskan karena banyak masalah di sini yang belum terjawab.
2)
Permainan
kanak-kanak merupakan persiapan untuk hidup. Gadis kecil yang bermain
boneka menyiapkan dirinya untuk menjadi seorang ibu. Keberatan teori ml
tidaklah dapat dijelaskan apabila orang tidak ingin dituduh berkehendak kembali
menjadi kanak-kanak, sebuah pengambilan nafsu-nafsu di masa kanak-kanak. Mengingat
bahwa tiap orang mengalami rangsang dalam permainan, maka regresi mi dianggap
sebagai watak umum manusia, tetapi hal mi pun belum dibuktikan.
3)
Teori rekapitulasi (ikhtisar,
ringkasan pokok-pokok) Dalam
teori ini di kemukakan bahwa dalam masa pertumbuhan kanak, mereka mengulangi
atau meringkaskan kembali sejarah hidup manusia. Dalam permainan kanak-kanak
kita melihat beraneka stadia perkembangan manusia dan primitif hingga masa kini
dengan segala bentuk peradaban yang ada.
4)
Dalam permainan, kanak-kanak menyatakan
reaksi-reaksi emosional dan sosial.
Cara permainan kanak-kanak merupakan lukisan, watak pribadi dan lingkungan
hidupnya sehari-hari. Dalam hal ini mereka tidak mementaskan/mendramatisasi
sejarah kemanusiaan, tetapi pengalamannya sendiri. Jadi, dengan bermain Si anak
mengekspresikan kesukaran-kesukaran, keinginan-keinginan serta pengalaman
hidupnya. Dengan demikian dalam permainan itu terpenuhilah sebagian terpenting
dan keinginan-keinginannya yang tidak terpenuhi.
Teori keempat ini memberikan banyak
titik hubungan untuk memahami permainan orang dewasa biarpun kita harus juga
memperhitungkan bahwa selain konflik-konflik pribadi juga problem-problem
manusia umumnya pun akan terlihat dalam permainan.
2.
Psikodrama dan psikologi pemain drama
Karena
problem individu hidup dalam drama, maka memungkinkan adanya pemecahan. Hal ini
dibuktikan dengan munculnya apa yang disebut Psikodrama, Orang-orang yang tidak
bisa menahan konflik-konflik dikumpulkan, kemudian: disusun suatu naskah
permainan dengan tujuan menyelidiki dan menemukan problem-problem yang ada pada
mereka. Hasil-hasil yang dapat dicapai cukup menakjubkan. Keraguan pertama
untuk mengekspresikan diri berkurang karena para pasien merasa dibebarkan,
konflik-konflik mereka tidak kuat lagi mengganggu, dan sering tercapailah
penyembuhan jiwanya (drama berfungsi sebagai terapi).
Contoh-contoh
tersebut ini memberikan petunjuk atas problem mengapa permainan memberikan
rangsang, padahal merupakan permainan yang tiada tujuan karena tidak mencapai
hasil yang praktis. Pada hemat kami hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut;
1)
Karena dalam permainan dapat dihidupkan nafsu-nafsu terlarang yang umum, yang
terlarang ialah nafsu-nafsu agresi seperti terlihat dalam sport di mana ada
istilah kawan dan lawan.
2)
Karena dalam permainan konflik-konflik,
individu bisa mencari jalan keluar. Manusia sadar akan
pertentangan-pertentangan pada orang dan, bercermin kepadanya, kemudian bisa
sampai kepada pembebasannya. Dalam psikologi ini merupakan sebuah gejala yang dikenal,
yaitu bahwa mengetahui orang lain menderita mendatangkan perasaan ringan bagi
dirinya, sebaliknya, menyatakan problem pribadi kepada orang lain mendatangkan
pula keringanan jiwa.
3)
Faktor lain ialah karena dalam teater
banyak orang mengalami perasaan yang prinsipnya sama (saling merasa), yang oleh
mereka secara perorangan diterima dan dikembangkan. (Nota: Kesedihan yang
dibagi menjadi setengah kesedihan;. Sedangkan kegembiraan. semakin dibagi,
semakin bertambah).
Dari
kesemuanya ini nyatalah bahwa dalam pengolahan psikologis permainan sedikit
terdapat perbedaan antara pemain dan penonton. Perbedaan besar terdapat dalam
kemungkinan-kemungkinan identifikasi. Seorang penonton bisa memilih peranan
dalam cerita yang akan disamakan dengan dirinya, biasanya seorang pahlawan
karena manusia lebih suka menyamakan dirinya dengan peranan yang penting dan
menguntungkan. Dalam pada itu sang aktor terikat pada peranan yang dipegangnya.
3.
Permainan sebagai pembebasan
Aktor
harus menggambarkan orang lain, sekaligus ia tidak bisa berbuat selain
menggunakan bahan yang ada padanya. Manusia pada umumnya suka pada sesuatu yang
imitasi, artinya Ia suka meniru orang lain. Dalam hal ini anak-anak sudah
mulai, melaksanakannya. Banyak anasir budaya yang terjadi karena keinginan
meniru. Manusia hendak meyalurkan atau melahirkan dorongan-dorongan/nafsu-nafsu
yang atau di dalam dirinya, tetapi tak terpenuhi karena adanya
konvensi-konvensi sosial, norma-norma susila, kebiasaan, dan lain-lainnya.
Itulah sebabnya maka imitasi (termasuk pemainan/drama) yang sekaligus merupakan
sesuatu pernyataan diri menjadi digemari. Seorang aktor seolah-olah ditugaskan
penonton untuk berbuat atas namanya. Jelaslah kini mengapa penonton mempunyai
peranan penting da1an sebuah pertunjukan.
4.
Pembinaan watak permainan
A.
Ada tiga bahan bagi aktor untuk menggambarkan apa yang telah ditentukan penulis
lewat tubuh dan wataknya:
1)
Mimik :
yaitu pernyataan atau perubahan muka: mata, mulut, bibir, hidung kering.
2)
Plastik :
yaitu cara bersikap dan gerakan-gerakan yang anggota badan.
3)
Diksi :
cara penggunaan suara/ucapan
B.
Tiga fase cara aktor menggambarkan peranannya
1)
Typering Primer
Yang terpenting ialah Mimik.
Dalam hidup kejiwaan manusia terdapat .tanda-tanda khusus dan perkembangan
peradaban yang merupakan standar. Jika orang diseluruh mengembangkan garis
sedih, maka garis itu akan mengarah ke bawah. Kesedihan dinyatakan dengan
simbol garis bawah. Bahasa Inggris Down untuk menyatakan ‘‘sedih’’ dan Up untuk
menyatakan ‘‘gembira’’ adalah yang paling tepat.
Gambar
A: Up/gembira GambarB: Down/sedih
Ada
dua typering, yaitu gembira (up) dan sedih (down). Perhatikanlah gambar;
semuanya sama kecuali garis mulut. Efek perbedaannya terdapat pada menarik
sudut mulut ke atas (A) atau ke bawah (B). Efek ini disebut “nilai pernyataan
simbolis” yang merupakan dasar dari seni berperan, memberi kesan tentang emosi.
2)
Typering Dramatis
Yang
terpenting ialah Plastik. Dengan sendirinya plastik ini (sikap dan gerak)
terpengaruh oleh mimik, dan pada umumnya bergantung juga pada tanda yang sama,
tetapi tidak setegas dan seprinsipil ditentukan seperti mimik.
Kita
tidak bisa menggambarkan topeng gembira dengan garis mulut ke bawah, tetapi
kita bisa menggambarkan sikap badan yang tidak melukiskan kesedihan dengan
garis badan yang bertendens menurun. Bahu tidak perlu. ke bawah, tangan tidak
perlu kendur Iunglai, juga kepala tidak perlu mengarah ke bawah. Semua ini
bergantung kepada penulis bagaimana dia menggambarkan peranannya (M 2). Apabila
dia akan menggambarkan peranan pada suatu saat yang sedih, maka situasi ini
harus keluar dan seluruh kepribadian peranan dramatiknya, dan sesuatu yang
telah terjadi dan yang akan terjadi.
Contoh
adegan :
Seorang
ayah bertanya kepada putrinya yang telah ditinggalkan oleh kekasihnya. Penulis
menentukan bahwa gadis tersebut dalam keadaan sedih, sesuatu yang telah
diketahui dari perkembangan laku. Bagaimana kesedihan dinyatakan dengan mimik
telah kita ketahui pada typering primer. Tetapi, bagaimana kesedihan ini secara
plastik harus dinyatakan, sangatlah bergantung pada pendapat (ide) penulisnya,
jadi dan typering dramatisnya, Jika si gadis berwatak keras, kesedihan akan
dinyatakan lain daripada apabila Ia berwatak lemah. Si gadis yang berwatak
keras akan berbuat menarik bahu ke belakang, berdiri tegak, tangan mengepal.
Kalau, si gadis itu berwatak lemah, maka ia berada di sudut, tangan kendor,
badan pun lemah. Nyatalah sekarang bahwa plastik tidak sedemikian bergantung
pada ekspresi mimik.
3.
Typring Individual
Yang
penting ialah Diksi. Aktor tidak hanya mempertunjukkan emosi yang memiliki
pernyataan simbolis secara umum. Juga faktor tidak hanya menyesuaikan diri
dengan struktur watak yang lelah ditentukan pengarang (M2), tetapi dia harus
pula memberikan kepada emosi-emosi ini ciri-ciri pribadinya yang karakteristik.
Diksi memberikan kebebasan kepada aktor untuk menghidupkan individualitasnya
dalam peranan karena diksi tidak ditentukan oleh pengarang.
Jika
dibandingkan dengan mimik dan plastik maka diksi memberikan banyak aspek
istimewa karena:
a)
tidak dapat dinyatakan dengan sikap atau gerak;
b)
suara halus berbicara dalam kata-kata
Cantoh
:
Andaikan
kepada ayahnya si gadis menjawab: “Aku tidak tahu di mana dia!’’
a) Jiká tekanan jatuh pada kata pertama: Aku
tidak tahu ....,
bisa ditafsirkan bahwa orang lain mungkin
tahu, mungkin tahu sendiri tahu.
b)
Aku tidak tahu di mana. . . bernada putus
asa.
c)
Aku tidak tahu . . . menandakan jengkel
dan seolah-olah memancing pertengkaran dengan sang ayah, karena ayah mengira
putrinya tahu di mana dia.
Diksi
ditentukan oleh aktor, karena itu ia (diksi) bisa mempengaruhi arti suatu
kalimat. Kelaslah bahwa typering individual penting, sehingga sering typering
dramatis bernaung di bawahnya.
Problem:
Apalah
yang menyebabkan sehingga ketiga anasir pengutaraan tersebut di atas bisa
dirangkaikan?
Hal ini ditentukan oleh ukuran
kebebasan yang diberikan kepada aktor,
-
Dalam
Mimik: kebebasan banyak dibatasi.
-
Dalam
plastik: kebebasan agak kurang dibatasi, karena dalam nal ini interpretasi
pribadi aktor atas maksud pengarang sering berlaku.
Dalam
Diksi: aktor mendapat kebebasan sepenuh-penuhnya, tetapi masih harus
diperhitungkan dengan instruksi sutradara.
5.Aktor
sebagai pencipta
Dalam
menemukan seni berperan, aktor menghadapi dua masalah yang harus dipecahkan.
1)
Tujuan akting: tujuan menentukan ikhtiar/usaha yang akan dijalankan.
2)
Metode akting: bagaimana melaksanakan ikhtiar itu.
Selingan
(dari penyusun):
Suatu
perbuatan dinamakan akting apabila ada M4 atau penonton. Seorang anak kecil
yang bermain kuda-kudaan sendirian bukanlah akting. Bila ayah dan ibu
dipanggilnya sebagai penonton, maka perbuatan (permainan) si kecil itu sudah
merupakan akting. Anak kecil adi mulai berakting apabila ia dengan sadar
membuat efek terhadap orang lain.
Ad
1. Dua teori tentang tujuan akting
a.Teori
ilusi/khayalan
Tujuan pokok akting ialah
menciptakan ilusi (illusion) atau khayalan. Gaya tarik dalam teater/drama ialah
penonton pada waktu melihat menjadi lupa bahwa mereka melihat permainan,
Misalnya: peran polisi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga mampu
memperdayakan pikiran penonton seakan-akan itu adalah polisi yang sesungguhnya.
b.
Teori ini terpretasi/penafsiran
Aktor tidak berusaha untuk menipu
penonton. Tujuan aktor bukanlah mewujudkan. emosi, melainkan mempertunjukkan
kepada kita (penonton) kenyataan di balik persamaan. rupa. Tujuan aktor ialah
menafsirkan perwatakan serta memberikan interpretasi.
Ad
2. Dua aliran tentang metode akting
a.Aliran
emosional
Aliran
ini mendasarkan metode aktingnya atas emosi. Orang yang estravert lebih cocok
untuk emosi; dia disebut aktor yang iris, menyatakan dirinya dengan perasaan.
(Dalam dirinya emosilah yang dominan/kuat/menonjol). Misalnya dalam ia “Passio
Oberammergau” di Jerman: yang berperan St. Maria harus hidup dengan baik, dan
tokoh Maria mempengaruhi hidupnya sehari-hari.
b.
Aliran intelektual
Aliran
ini berpendapat bahwa akting harus didasarkan atau dikonstruksikan atas suatu
kecerdasan (intelek). Emosi adalah yang tidak bisa dipercaya. Aktor harus
berpikir pertama-tama perihal akalnya, kemudian harus mampu mengingat dan
mengulanginya; ia harus lebih teknis dalam Misalnya: mau membunuh seseorang di
dalam pentas cukup dengan memakai metode the transfer of emotion. Secara teknis
dia harus tahu bahwa waktu dia menggerakkan, tangan; mulut, mata, dan
lain-lainnya, penonton merasakan sesuatu yang meningkat di dalam seluruh
tubuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar