Kamis, 03 April 2014

PRESIDEN KITA TERCINTA Naskah: Agus Noor


PRESIDEN KITA TERCINTA
Naskah: Agus Noor

Purnama di Atas Kota

Lewat tengah malam. Cahaya bulan berpendaran, membuat kota itu terlihat pucat. Gedung-gedung tua berkilatan dalam kesunyian, juga atap-atap yang berdebu menjadi lebih kelabu. Jalan-jalan telah menjadi parit sunyi. Kemuraman terasa membentang, seperti ada tangan gaib yang membuat kota itu tercekam ketakutan yang terpendam. Suara-suara bagai lindap.

Tiba-tiba terdengar dentang lonceng gereja. Membahana, meninggalkan gaung rahasia. Tak berapa lama, meledak sebuah tembakan, memecah udara. Disusul kemudian suara-suara derap langkah tergesa orang-orang yang berlarian bergerak menjauh meninggalkan kota yang dijalari kecemasan. Ada lolong anjing di kejauhan. Lalu sekali dua terdengar salak senapan. Serentetan tembakan dan ledakan. Menggelegar. Berondongan senapan mesin seperti hardikkan yang terdengar dimana-mana. Suara-suara deru puluhan truk melintas. Melindas. Di ujung jalan, terlihat asap hitam membumbung ke langit yang murung.

Lalu muncul beberapa serdadu, meringkus dan menyeret sesosok tubuh yang lunglai pasrah tak berdaya. Tubuh yang kepalanya dibekap kain hitam. Kengerian makin menyanyat ketika sekawanan kelelawar menjerit memecah malam dengan kepaknya yang muram, melesat di langit kota.

Di bawah bayangan purnama yang keruh, di bawah lindap bayangan tembok yang memanjang, sesosok tubuh yang kepalanya terbekap kain hitam itu berdiri gemetar. Di hadapannya, sederet serdadu mengarahkan senapan, siap ditembakkan.

Jubah hitam kematian melambai-lambai, dan bayangan tubuh pesakitan itu sejenak terlihat meregang, seakan mencium bau maut dan ia seketika menyadari akhir dari semua ketakutannya. Maka, dengan suara gemetar parau, ia berteriak mengepal tanggan, mengacungkannya tinggi-tinggi ke udara, dan berteriak keras,
                       
Pesakitan,
“Hidup Tuan Presiden! Hidup Tuan Presiden!...”

Pada saat itulah, serentetan tembakan langsung membuat tubuh pesakitan itu rubuh. Tak ada keluh, selain langit dengan bintang-bintang yang jauh, dan purnama di atas kota yang perlahan-lahan melepuh.

Dengan gegas sepasukan serdadu tersebut menyeret tubuh pesakitan itu. Membuangnya  begitu saja dalam kegelapan.


Pelajaran Pertama Menjadi Anjing


Hari masih remang.
Sayup, terdengar suara khas siaran berita pagi dari radio.

Suara Penyiar Radio,
“Berita Pagi Radio Republik Nasional… Serangkaian serangan dan penculikan telah terjadi tengah malam tadi di Ibu Kota Negara. Presiden dikabar mati tertembak oleh para pemberontak. Situasi masih simpang siur. Sementara Kolenel Kalawa Mepaki yang langsung mengambil alih pengamanan Ibu Kota, menegaskan bahwa saat ini situasi telah berangsur-angsur terkendali…”

Sementara panggung masih remang, saat siaran berita itu berkumandang, tampak bermunculan para Anggota Dewan Senator Kota. Dalam kecemasan mereka saling berbincang, bergerombol dalam kerumunan, mencoba mencari tahu keadaan. Sebagian tampak cemas, gugup, dan masih mengantuk. Lalu suara radio itu perlahan melenyap bersamaan dengan panggung yang mulai terang. Saat panggung mulai terang itulah, perlahan-lahan pada bagian belakang panggung muncul gambar besar foto Presiden. Dan panggung pun kini mengesankan sebuah balairung Gedung Dewan Senator Kota yang luas dan megah, dimana para senator itu tampak makin sibuk dengan kasak-kusuk. Balairung itu terlihat luas, dengan pilar-pilar tinggi menjulang. Ada warna-warni yang lembut membias dari gresto lukisan kaca di dinding-dindingnya.

Saat itulah muncul Kolonel Kalawa Mepaki. Terburu, tetapi tak kehilangan kesigapan dan kewaspadaannya. Tampak lusuh, tetapi tetap gagah dalam seragam lapangannya. Seketika balairung senyap. Semua bagai tersedot perhatiannya pada Kolonel Kalawa Mepaki yang memain-mainkan sekeping mata uang. Keping itu dilempar, dan kemudian ditangkapnya lagi, digenggamnya, seperti melakukan undian, seperti berusaha menyakinkan akan nasib baik. Kemudian Kolonel Kalawa Mepaki tersenyum demi melihat keping dalam genggamannya itu, lalu mulai bicara…

            Kolonel Kalawa Mepaki,
“Maaf, kalau saya mengganggu waktu sarapan pagi Tuan-tuan dengan undangan yang serba mendadak ini…”

Dengan mata elangnya, Kolonel Kalawa Mepaki menatap para senator itu.

Kolonel Kalawa Mepaki,
 “Tuan-tuan pasti sudah mendengar kabar kematian Tuan Presiden…”

            Seseorang Senator, langsung memotong sinis,
“Kematian…, atau pembunuhan?! Itu dua hal yang berbeda, Kolonel!



            Kolonel Kalawa Mepaki,
“Saya bisa memahami situasi yang penuh kecurigaan seperti ini. Tapi saya bisa menegaskan: Berdasarkan Badan Informasi Intelejen, yang secara kebetulan ada dibawah komando saya, Tuan Presiden memang mati ditembak kaum anarkhis-revolusioner, yang didukung oleh apa yang di sebut Konspirasi Para Jenderal…”

Seseorang senator, yang bernama Awuk, segera bicara lantang,

            Awuk,
“Bagaimana dengan informasi lain, yang menyebutkan pasukan perang, yang juga secara kebetulan dibawah komando Anda, terlibat dalam penculikan Presiden itu? Apakah Anda hendak mengesampingkan informasi ini, Kolonel?”

            Kolonel Kalawa Mepaki,
“Tentu, saya akan perhatikan informasi itu…”

Suara Kolonel Kalawa Mepaki terdengar tegas, tetapi juga keras. Seperti menyiratkan tekanan dan ancaman.

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Dalam kekacauan seperti ini, tentu saja ada fihak-fihak yang ingin mengambil keuntungan dengan menyebar informasi yang menyesatkan. Karena itu, hati-hatilah!! Siapa tahu informasi itu menjadi peluru yang mengancam keselamatan Tuan-tuan…”

Kolonel Kalawa Mepaki menatap tajam Awuk. Lalu melemparkan keping koinnya, melihatnya dengar cermat, baru melanjutkan bicara…

Kolonel Kalawa,
“Saya hanya bisa menyarankan, pada Anda, Tuan…”

Awuk,
“Awuk…”

Kolonel Kalawa,
“Tuan Awuk… Tuan boleh mempercayai setiap informasi, sejauh informasi itu tidak bertentangan dengan informasi yang saya berikan. Saya berusaha mengendalikan semua kasak-kusuk yang menyesatkan…”

Seorang Senator,
“Atas dasar apa, Anda merasa memiliki wewenang seperti itu, Kolonel?!”

Sesekali masih terdengar tembakan, nun di luar sana…

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Mestikah saya membiarkan semua baku tembak itu terus berlangsung?”


Seorang Senator, yang lain, langsung menimpali,
“Dalam keadaan apa pun, Anda mesti mendapat persetujuan Dewan Senator Kota!”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Karna itulah saya mengundang Tuan-tuan!”

Seorang Senator,
“Kami hanya menginginkan semua berjalan sesuai konstitusi, Kolonel. Kecuali kalau Anda memang sudah tak lagi menghargai.”

Seorang Senator,
“Tegasnya, kami menuntut kejelasan! Terutama soal penangkapan-penangkapan yang Anda lakukan….Juga soal kematian para Jenderal!”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Secara pribadi, saya ikut berduka. Memang banyak korban! Tapi itu biasa dalam setiap perubahan.”

Senator Awuk,
“Perubahan, atau sesuatu yang ingin Anda rubah, Kolenel?”

            Seorang Senator,
“Ini soal nyawa, Kolonel. Kita tak bisa menganggapnya biasa...”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Saya telah berusaha semampu saya… Saya hanya berusaha secepat mungkin mengambil keputusan!”

Seorang Senator,
“Tapi Dewan Senator Kota belum mengambil keputusan apa pun!”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Saya datang ke Gedung ini.., bukankah bukti itikad baik saya, agar kita bisa secepatnya bersama-sama mengambil keputusan. Mari kita bicara dengan tenang…”

Kolonel Kalawa Mepaki memain-mainan koinnya…

Seorang Senator,
“Bagaimana kami bisa bicara dengan tenang, sementara pasukan Anda mengepung Gedung Dewan Senator ini...”


Kolonel Kalawa Mepaki,
“Bagaimana pun keselamatan Tuan-tuan yang terhormat menjadi prioritas saya…”

Seorang Senator,
“Atau Anda mencoba mengintimdasi kami...”

Awuk,
“Terasa benar kalau Anda memang sedang merancang sesuatu, Kolonel…”

Kolonel Kalawa Mepaki, tampak langsung meledak…

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Bila saya kehendaki, saat ini, seluruh pasukan bisa saya perintahkan menangkap Tuan-tuan! Tapi saya sama sekali tak tergoda untuk melakukan itu. Saya Perwira! Bukan preman… cuman barangkali  perwira yang memiliki  bakat-bakat preman. Karna itu, please, saya mohon, Tuan-tuan…, jangan sampai saya dipaksa tergoda menyalurkan bakat preman saya!”

Mendadak muncul Tuan Pitaya Mentala, dikawal oleh dua prajurit, yang bagai menodongnya. Segera Tuan Pitaya mendekati Kolonel Kalawa. Keduanya tampak berbincang. Tapi terasa betul sikap Tubuh Tuan Pitaya tampak sering mengiyakan ucapan Kolonel Kalawa.

Lalu Kolonel Kalawa segera kembali memandang para senator yang hadir,
 
Kolonel Kalawa Mepaki,
“Tuan-tuan pasti ingin dapat penegasan, bahwa apa yang sudah saya lakukan sudah benar. Nah, Tuan Pitaya Mentala, sebagai Hakim Tinggi Konstitusi, akan menyampaikan fatwa judisialnya…”

Kolonel Kalawa mempersilakan Tuan Pitaya mengambil tempat untuk bicara. Tuan Pitaya segera membuka kita besar yang dibawanya, memakai kacamatanya, dan mulai membaca dengan pelan, terasa hafalan, dan membosankan…

Tuan Pitaya Mentala,
“Terimakasih… Terimakasih… Sebagai Hakim Tinggi Konstitusi, ane hanya akan menegaskan, haqul yakin, bahwa apa yang telah dilakukan Kolonel Kalawa Mepaki memang sudah sesuai dengan konstitusi. Dalam Kitab Konstitusi, dinyatakan, bahwa segala tindakan yang dilakukan sesuai konstitusi, maka dinyatakan konstitusional. Karna itulah, tindakal yang konstitusional, tidak bisa disebut sebagai melanggar konstitusi… Dus, itu berarti ane yakin seyakin-yakinnya, tindakan yang sesuai konstitusi itu bisa dibenarkan secara konstitusional… Merujuk pasal 5 ayat 3 dalam Kitab Konstitusi ini, maka apa yang dilakukan Kolonel Kalawa Mepaki telah sesuai konstitusi. Karena tindakan yang sesuai konstitusi tidak bisa diyatakan melanggar konstitusi, maka Kolonel Kalawa Mepaki dengan sendirinya telah melaksanakan amanat konstitusi. Makanya, secara konstitusional, ia telah sesuai dengan konstitusi. Karna secara konstitusi….”

Tidak sabar, Kolonel Kalawa langsung memotong…

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Terimakasih atas penjelasannya yang sangat konstitusional…”

Lalu Kolonel Kalawa mengeluarkan pistolnya, seakan-akan ia mengecek peluru dalam pistol itu. Kemudian memain-mainkannya secara provokatif, sambil bicara ke arah senator,

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Bagaimana, apakah masih ada yang mempersoalkan soal konstitusi ini…”

Para senator terdiam, hanya saling pandang. Sementara Kolonel Kalawa terus memainkan pistolnya dengan demonstratif. Dan pada saat itu pula, muncul beberapa prajurit, yang segera mengambil posisi di beberapa sudut, mengawasi. Seolah kehadiran para prajutit itu sudah menguasai balairung…

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Sudah terlalu banyak darah tumpah hari ini. Kematian Presiden, membuat saya sangat berduka. Karna itulah, saya tak ingin mengungkit-ungkitnya. Biarlah Beliau beristirahat dengan damai… Puji Tuhan! Semoga saja Tuhan keliru memasukkan arwah Tuan Presiden ke surga…”

Tuan Pitaya Mentala,
“Berdasarkan konstitusi, bila Presiden mati, maka arwahnya memang akan masuk surga…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Cukup Tuan Pitaya!” Kemudian pada semua yang hadir, “Marilah kita berdoa…”

Kolonel Kalawa Mepaki melempar koinnya, memandangi koin yang kembali dalam genggamannya itu. Kemudian segera melepas topi militernya. Suasana berubah takzim.

Terdengar terompet menandai upacara duka cita.

Semua yang hadir pun tertunduk khidmat. Terompet itu terus melengking. Dan pada saat yang bersamaan, gambar besar foto Presiden itu perlahan luruh, seperti bendera kebesaran yang diturunkan dalam sebuah upacara senja. Dan seperti bendera kusam, gambar Presiden itu dilipat oleh serdadu yang menurunkannya.
           

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Terimakasih…”

Tiba-tiba ada suara berteriak lantang,

            Awuk,
“Makar!!!! Ini jelas-jelas kudeta! Menurunkan gambar Presiden tidak dibenarkan secara konstitusi!”

Tuan Pitaya Mentala,
“Tetapi secara konstitusi Presiden telah dinyatakan mati…”

Awuk,
“Apa buktinya kalau Presiden telah mati. Kita hanya mendengar perihal kematian Presiden. Itu bukan berarti Presiden telah mati! Bagaimana pun, sampai saat ini, jenazah Presiden belum ditemukan…”

Tuan Pitaya Mentala,
“Itulah yang ane sebut, secara konstitusi berarti Presiden telah mati…”

Awuk,
“Selama jenazah Tuan Presiden belum ditemukan, berarti ada kemungkinan Presiden masih selamat.  Di sinilah, ada tidaknya jenazah Tuan Presiden menjadi penting. Jenazah itu pun bisa membuktikan: peluru dari kesatuan manakah yang bersemayam di tubuh Tuan Presiden!”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Tuan-tuan…, saya sangat setuju, dengan apa yang dikatakan Senator Awuk. Itulah sebabnya, menemukan jenazah Presiden dan mengungkap sebab-sebab kematiannya, menjadi prioritas saya. Saya berjanji, misteri kematian Tuan Presiden, akan segera saya tuntaskan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.”

Kolonel Kalawa Mepaki memberi isyarat kepada seorang prajurit, yang segera mendekat dan memberikan segulung data...

Kolonel Kalawa Mepaki, sambil mengacungkan gulungan kertas itu,
“Seperti yang saya tegaskan, ini adalah data-data seputar komplotan yang membunuh Presiden…” Lalu membagi-bagikan lembaran kertas itu pada para senator, “Semua nama-nama yang berkomplot membunuh Presiden, ada di situ…”

Semua membaca. Dan tampak Awuk menjadi panik,

            Awuk,
            “Tidak mungkin! Ini fitnah! Ini fitnah!”

Awuk mencoba mendakati para koleganya, tetapi para senator itu pelan-pelan menjahui Awuk. Hingga Awuk tampak sendirian…

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Kenapa? Kaget mendapati nama kamu ada di daftar itu? Saya sudah lama mengendus rencana jahat konspirasi ini. Saudara Awuk adalah agen ganda yang sengaja disusupkan ke Gedung Senator ini… Saudara Awuk terlibat dalam pertemuan terakhir para Dewan Jenderal…. Ia pengkhianat! Bersama komplotannya ia merancang pembunuhan Presiden!”

Awuk, terdesak, gemetar…
“Itu informasi yang salah, Kolonel...”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Bukankah semasa mahasiswa kamu menentang Tuan Presiden?!”

Awuk, makin terlihat tak berdaya…
“Itu sudah lama, Kolonel…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Ya, kamu memang sudah lama merancang kekacauan ini!”

Awuk,
“Sama sekali tidak benar…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Yang mana yang tidak benar? Bahwa kamu, sewaktu di Komisi Lima, terlibat korupsi alih fungsi hutan lindung, dan uang itu kemudian kamu gunakan untuk mendanai diskusi-diskusi bawah tanah kaum radikal? Bahwa kamu bersama para klandenstin telah berhasil membobol dana dari Bank Pusat?”

Awuk, makin terlihat tak berdaya…
“Itu tidak benar, Kolonel…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Bahwa kamu pernah bikin rekaman mesum… Bahwa kamu suka memakai Viagra…”

Awuk, makin terlihat tak berdaya…
“Cukup, Kolonel...”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Atau saya harus mengungkap semuanya?!”


Awuk, kini benar-benar tak berdaya, ambruk jatuh bersimpuh… 
“Cukup, Kolonel… Cukup… Cukup…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Bahwa kamu pernah terlibat…”

Awuk,
“Saya, Kolenel… Cukup… Jangan…”

Awuk memeluk kaki Kolonel Kalawa Mepaki. Terdengar tangisnya yang tersedu dan tertahan. Kehormatannya ambruk. Awuk seperti kain gombal. Awuk makin tersedu gemetar.

Kolonel Kalawa Mepaki, memain-mainkan koin keberuntungannya,
“Kamu masih muda… Mestinya kamu bisa saya harapkan…”

Awuk,
“Beri saya kesempatan, Kolonel...”

Awuk meringkut tersunguk memeluk kaki Kolonel Kalawa. Sementara Kolonel Kalawa mengacungkan pistolnya tingg-tinggi. Kemudian menembak satu kali ke udara. Doorrr!!

Kolonel Kalawa,
“Anggap ini pelajaran pertama... Berjanjilah!!”

Senator Awuk, terdengar seperti menguik, 
“Saya Berjanji, Kolonel… Saya janji… Saya janji…  Janji…”

Kolonel Kalawa, masih mengacungkan pistolnya ke udara, berteriak lantang…
“Saya melakukan ini untuk masa depan Republik! Saya cuma perlu kesetiaan kalian!”

Lalu Kolonel Kalawa Mepaki langsung menembakkan kembali pistolnya tiga kali. Semua makin kecut. Semua mengkerut. Awuk beringsut. Tubuhnya meringkuk. Seperti seekor anjing kurap yang bersimpuh di kaki kekuasaan. Kemudian perlahan tubuh Awuk menggeliat, meregang dan merangkak seperti seekor anjing yang dikutuk nasib buruk sepanjang hidup.

Awuk, suaranya terdengar seperti anjing yang menguik,
“Saya berjanji hik hik..  Setia guk guk… Saya… guk..  janji…guk guk…Setia.. guk guk guk…”

Kemudian, seperti seekor anjing, Awuk terus meracau menggonggong, merangkak keluar ruangan…


Darah itu Seperti Anggur, Tuan-tuan…


Setelah Awuk keluar ruangan…

Panggung berubah suasana. Dari atas berjatuhan kain warna-warna, yang menandai keramaian pesta. Ruangan berubah menjadi ballroom hotel berbintang. Para pelayan bermunculan, membawa baki berisi gelas-gelas anggur.

Para senator yang hadir mulai bisa menyusuaikan diri dengan semua keceriaan itu. Mereka bergerombol berbagi cerita sembari tertawa-tawa.  Musik dansa atau salsa menambah ceria suasana. Kolonel Kalawa Mepaki terlihat berkeliling dari satu senator ke senator lainnya. Berjabatan tangan saling peluk penuh kehangatan. Lalu Kolonel Kalawa Mepaki mengambil satu posisi, berdiri, memlemparkan koin keberuntungannya, kemudian mengangkat gelas, mengajak bersulang.

            Kolonel Kalawa Mepaki,
“Tuan-tuan yang Budiman…”

Semua mengangkat gelas. Lalu terdengar teriakan Tuan Pitaya Mentala,

Tuan Pitaya Mentala,
            “Hidup Republik!!”

            Semua, menyahut,
“Hidup Republik!!!”
           
Tuan Pitaya Mentala,
            “Hidup Kolonel Kalawa!!!”

            Semua, menyahut,
“Hidup Kolonel Kalawa!!!”
           
            Kolonel Kalawa Mepaki,
“Terimakasih… Ini anggur terbaik kita. Anggur ini akan menandai sejarah baru kita. Sejarah tanpa kekerasan. Sejarah tanpa darah… Saya tahu, masih banyak desas-desus yang menyatakan saya haus kekuasaan. Mereka mengatakan, bahwa sebentar lagi saya akan mengangkat diri saya menjadi Jenderal Besar. Itu omong kosong! Kita tak lagi membutuhkan para Jenderal. Selama ini para Jenderal hanya sibuk berebut kekuasaan. Terlalu banyak jenderal, membuat kita mengalami inflasi Jenderal. Kita harus mengatasi ini. Untuk itulah, saya memutuskan untuk menghapus pangkat Jenderal dari kententaraan. Tidak perlu ada lagi Jenderal di Republik ini. Mulai saat ini, pangkat tertinggi, cukup Kolonel. Yang secara kebetulan disandang saya seorang…”

Tuan Pitaya Mentala langsung bertepuk tangan. Begitu bersemangat. Tetapi para hadirin yang lain hanya diam.

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Apakah ada yang keberatan?”

Lalu, perlahan-lahan, satu demi satu, hadirin yang lain mulai bertepuk tangan pula. Mula-mula pelan. Tak antusias. Sekedar ikut-ikutan karena rekan sebelahnya bertepuk tangan. Tapi makin lama tepuk tangan itu makin keras dan menggemuruh. Bahkan terdengar suitan-suitan panjang .

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Terimakasih… Maka dengan sendirinya para Jenderal yang tersisa dengan ini saya pensiunkan. Karna sudah pensiun, saya persilakan  agar mereka ramai-ramai bikin partai politik.”

Tuan Pitaya Mentala,
“Yang penting sesuai konstitusi…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Cukup Tuan Pitaya!... Mari kita nikmati saja anggur ini. Anggur yang membuat kita bergairah. Seperti darah! Saya pribadi tak lagi ingin ada darah menumpahi gelas pesta kita. Karena itulah, Tuan-tuan yang Budiman, saya tidak mau jadi tiran yang haus darah. Catat ini, Tuan-tuan: saya tak ingin menjadi tiran!... Saya hanya ingin apa pun yang saya katakan tak terbantahkan…”

Mendadak, Jenderal Kalawa Mepaki mencabut pistolnya.

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Pada hari ini saya bersumpah! Biarlah darah saya ini menjadi darah terakhir yang tumpah!”

Kolonel Kalawa mepaki segera mengambil posisi berdiri di tempat yang tinggi. Hingga ia menjadi pusat perhatian semua mata. Ia mengangkat satu kakinya ke kursi. Kemudian dengan gerakan dramatik mengarahkan pistol ke kakinya itu.

            Tuan Pitaya Mentala, mencoba menahan…
            “Sebentar, Kolonel… Tunggu!!….”

Tapi terlambat. Kolonel Kalawa sudah menembak kakinya sendiri!

Semua yang hadir menjerit kaget. Kolonel Kalawa menjerit kesakitan. Darah merembes dari kaki Kolonel Kalawa. Ia terhuyung. Tuan Pitaya segera hendak menolong, tetapi sang kolonel segera menepisnya. Ia tak mau dibantu. Ia berjalan terhuyung menyeret kakinya yang bercucuran darah.

Kolonel Kalawa dan Tuan Pitaya berada agak jauh dari semua yang hadir…

Kolonel Kalawa Mepaki, mengeram marah menahan sakit,
“Bangsat!! Saya lupa melemparkan koin keberuntungan saya!!” Lalu kepada Tuan Pitaya, “Kenapa pelurunya beneran!”

            Tuan Pitaya Mentala,
“Lho, tadi kana ane mau peringatkan…” mengeluarkan pistol mainan anak-anak dari balik bajunya, “ Mestinya tadi ente nembaknya pake pistol ini…”

Kolonel Kalawa mengeram, merebut pistol mainan itu dan langsung membuangnya dengan sebal. Tapi kemudian ia berjalan tertatih mencoba tetap terlihat gagah dan meyakinkan ketika kembali bicara pada semua yang tadi menyaksikan…

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Biarlah darah ini, darah ini, menjadi bukti sumpah saya! Inilah darah terakhir yang tumpah!”

Tuan Pitaya langsung bertepuk tangan. Sendirian. Karena yang lain hanya diam saling pandang. Tuan Pitaya menjadi serba salah. Lalu ia segera bersorak…

Tuan Pitaya Mentala,
            “Hidup Kolonel Kalawa!!!”

Tapi tak ada yang membalas teriakan itu.

Tuan Pitaya Mentala,
            “Hidup Kolonel Kalawa!!! Hidup Kolonel Kalawa!!!”

Tetap tak ada yang membalas teriakan itu. Lalu Kolonel Kalawa terlihat mengarahkan pistolnya pada para hadirin, sambil berdiri goyah dengan kakinya yang terluka.

Tuan Pitaya Mentala,
            “Hidup Kolonel Kalawa!!!”

Langsung semuanya menyahut dengan gegap gempita.

Semua,
“Hidup Kolonel Kalawa!!! Hidup Kolonel Kalawa!!! Hidup Kolonel Kalawa!!!”

Tuan Pitaya Mentala,
            “Hidup Kolonel Kalawa!!!”

Teriakan-teriakan makin keras dan membahana. Pada saat itulah, Awuk muncul, bergerak merangkak seperti seekor anjing, melintas sambil terus menggonggong dan menyalak.

Awuk,
“Hidup Kolonel Kalawa… guk guk... Hidup Kolonel Kalawa… guk guk…”

Sementara teriakan-teriakan itu makin redup bersamaan dengan cahaya yang menggelap. Kini hanya terdengar suara Awuk,

Awuk,
“Hidup Kolonel Kalawa… guk guk… Hidup Kolonel Kalawa… guk guk…”

Cahaya kemudian hanya tersisa pada bagian di mana Awuk berhenti, mengangkat satu kakinya, seperti anjing yang tengah kencing. Lalu kembali menyalak dan bergerak merangkak, lenyap dari pandangan.

Nun di Suatu Dusun


Terdengar suara perempuan nembang, bagai mengambang di sunyian dusun itu. Kegelapan jadi terasa lembut. Bayangan rumpun bambu, berderit bergesekan. Suara-suara serangga membuat malam itu makin penuh melankoli. Ah, betapa menentramkan.

Di beranda rumahnya yang sederhana, di pinggiran dusun itu, Marani Antawis duduk bersipuh memandang kesunyian sembari melantunkan tembang. Seperti menyanyikan perasaan cintanya pada suaminya, Antawis Maekani, yang sedang melinting rokok. Saat tembang itu makin mengalun merdu, Antawis tampak begitu meresapi, sembari sesekali menghisap lintingan rokoknya dalam-dalam. Dan sesekali meludah. Rupanya, Antawis Maekani memang punya kebiasaan gemar meludah sembarangan.

Tiba-tiba Antawis Makani terbatuk-batuk, tersedak asap rokoknya. Dan itu membuat istrinya cemberut jengkel,

Marani Antawis,
“Iya…suara saya sudah jelek… Ndak merdu kayak dulu lagi… Makanya bikin sampeyan batuk-batuk…”

Antawis makin terbatuk-batuk. Dan meludah.

            Marani Antawis,
“Bilang ajah terus terang, kalau mau nyuruh berhenti nembang…Nggak usah nggaya pakai batuk-batuk segala…”

Antawis Maekani,
“Kamu itu kenapa to, Bu… Jadi gampang tersinggung begitu lho… Sudah manapouse, po? ”

Marani Antawis,
            “Saya sadar kok, Pak… Saya ndak lagi menarik…

Antawis Maekani,
Lahdalah, kok makin ndadi to ya… Saya batuk-batuk karena rokok ini… Mbakonya tidak enak…” menunjukkan bungkus tembakau, lalu meludah. “Kemarin kan saya nyuruh Kapilka beli tembako… Tapi dia salah beli, jadi tembakonya ndak enak. Rasanya nyegrak… Beda sama mbako kamu.., eh maksud saya beda sama mbako yang biasa kamu belikan itu…Beda ini capnya…”

Marani Antawis,
“Alesan!! Kalau orang sudah ndak suka memang pinter cari alesan! Pasti sebentar lagi kamu juga punya alesan buat kawin lagi… Biar bisa poligami!”



Antawis Maekani,
“Saya kan bukan Kyai…, jadi ndak perlu repot-repot menyalurkan bakat poligami… Petani kayak saya ini, ya sudah untung dapet bekas sinden kayak kamu…”

Marani Antawis,
            “Iya, saya ini cuman bekas…Bekas! Sudah afkir. Bekas sinden yang sudah tua…”

Antawis Maekani,
“Dengar ya istriku sayang… Bukan nangka bukan delima, yang penting matang dan manis rasanya… Bagi Kakang, bukan soal tua atau muda, yang penting sayang dan kuat cengkeramannya…”

Marani makin cemberut manja, sementara Antawin mencoba terus menunjukkan rasa sayangnya. Tetap sesekali meludah. Saat itulah muncul Kapilka dan Mulati, dua anak mereka, yang bergegas hendak langsung masuk rumah. Tapi Antawis segera memanggilnya,

Antawis Maekani,
            “Kapilka! Mulati!”

Kapilka dan Mulati segera berenti, tapi tak mendekat, seakan menjaga jarak.

Antawis Maekani,
            “Kok pulang malem lagi…”

            Kapilka,
            “Biasa…”

            Marani Antawis,
“Ditanya kok njawabnya gitu… Ibu cuman cemas kalau kamu selalu pulang lewat jam malem begini. Ibu takut kamu kayak Wanian, yang mati dipukulin petugas itu. Atau kayak Hastaya dan Rabalik, yang sampai sekarang ndak ketahuan mayatnya…”

Antawis Maekani, meludah…
“Pasti kalian ikut demo lagi kan?!”

Mulati,
“Saya bisa jaga diri kok, Pak…”

Antawis Maekani,
“Nggak ada orang yang bisa menjaga diri dari kematian. Cuman Bapak tidak ingin kalian mati konyol…”

            Kapilka,
            “Tak ada kematian konyol dalam pejuangan!”

Antawis Maekani, meludah…
“Denger tuh, Bu, denger itu omongan anakmu. Perjuangan! Anak bau kencur begitu ngajarin kita soal perjuangan.,” kepada kedua anaknya, “Apa dikira membesarkan kamu ditengah semua kesulitan ini juga bukan perjuangan? Apa kamu kira yang namanya pejuangan itu cuman bengak-bengok ikut demontrasi menentang Kolonel…”

Marani Antawis, memotong dan gugup ketakutan,
“Ssstt! sudah, Pak, sudah! Nanti kedengaran tetangga…”

Mulati,
“Ketakutan cuman membuat kita kayak keong, Bu. Selalu sembunyi bila ada bahaya…”

Antawis Maekani,
“Itu namanya taktis…”

Kapilka,
“Itu namanya pengecut! Dan dengan segala hormat, Ayah…, sekarang bukan lagi saatnya menjadi pengecut. Sikap seperti Ayah lah yang membuat Kolonel Kalawa dengan semena-mena melakukan kudeta!”

Marani Antawis, makin ketakutan, membentak,
“Kapilka!” lalu ia mengengok sekeliling, ketakutan kalau-kalau sembunyi mendengar, “Itu bukan kudeta… Cuman pergantian kekuasaan biasa… kalau kita tenang, nanti juga tenang dengan sendirinya…”

Kapilka dan Mulati nampak tetap tidak setuju dengan sikap ibunya, tetapi mereka hanya diam, dan langsung bergegas masuk rumah. Antawis Maekani meludah, berdiri diam. Melinting rokoknya, tetapi tak juga menghisapnya. Terus sesekali meludah. Gelisah.

Antawis Maekani, nampak menahan kesedihan dan perasaan kehilangan,
“Rasanya kita mesti belajar mempersiapkan diri, agar tak kaget bila nanti tak melihat anak-anak kita lagi…”

Marani Antawis, mendekati suaminya, mencoba meneguhkan dan menghibur dengan memeluknya.

            Marani Antawis,
            “Jangan begitu…”



            Antawis Maekani,
“Ahh, mereka memang sudah dewasa… Kita saja yang tak sadar kalau sudah tua, hingga kadang kaget dengan pikiran mereka…”

Marani Antawis,
            “Kamu belum tua, sayanggg…”

Antawis Maekani,
“Hidup saya sudah loyo…”

Marani Antawis, begitu mesra,
“Dengar ya Kakang sayang… Biar buaya disebut boyo, tetap saja mengerikan. Biar tua atau loyo, yang penting Akang masih menyenangkan…”

Suasana menjadi terasa syahdu dengan kemesraan cinta tua mereka. Langit tampak kelabu. Dusun itu terasa damai dalam kelengangan. Tetapi mendadak meloncat bayangan yang membuat Antawis Maekani dan istrinya terperanjat kaget. Satu makhluk aneh, yang berjalan merangkak mirip anjing, mendadak muncul dari balik belukar. Marani Antawis menjerit dan melompat memeluk suaminya. Makhluk aneh itu ternyata Awuk, yang berkeliaran melintas dan terus menggonggong melolong…

            Awuk,
            “Guk..guk..guk… guuuukkkk….”

Kemudian Awuk lenyap, sementara Marani Antawis masih tampak ketakutan sekaligus keheranan.

Marani Antawis,
“Apa itu, Kang?”

Antawis Maenaki,
“Entahlah….”

Gonggong itu terdengar kian menjauh.


Sekeping Koin Wasiat


Ada kain terjuntai, menandai halaman belakang Istana Kepresidenan. Pada kain itu, tampak silhuet bayangan Kolonel Kalawa Mepaki yang sedang berlatih pedang, bermain anggar, dengan gerakan yang lincah, meski kakinya pincang. Ia begitu gesit memainkan pedangnya, seakan bertarung dengan musuh yang tak kelihatan.

 Tuan Pitaya Mentala mengawasi, berdiri di dekat Lalita Maningka yang duduk dibawah naungan payung – semacam payung kebesaran yang indah – yang dipegangi seorang prajurit. Prajurit pembawa payung ini, nantinya akan selalu mengambil posisi memayungi Lalita Maningka, kemana pun ia bergerak.

Tuan Pitaya Mentala,
“Dasar bahlul… Setiap hari ente berlatih, seakan-akan setiap saat musuh akan menikam ente dari balik kegelapan…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Musuh selalu berbahaya, karena ia bahkan bisa menyamar sebagai orang yang paling dekat.”

Tuan Pitaya Mentala,
            “Tapi kan ane sohib ente. Tidak mungkinlah kalau ane…”

Tiba-tiba Kolonel Kalawa keluar dari balik kain itu, dan langsung mengarahkan ujung pedangnya tepat di depan wajah Tuan Mitaya, membuat Tuan Pitaya langsung menghentikan ucapannya.

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Kita lihat saja… Ambil pedang Anda, Tuan Pitaya…”

Tuan Pitaya Mentala mencoba bersikap tenang, mencoba menghindar.

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Ambil pedang Anda, Tuan Pitaya!”

Tuan Pitaya Mentala,
“Aduuuh, ente berlebihan, Kolonel… Ane kira, tak perlulah main-main seperti ini… Mubazir… Ada hal-hal yang lebih bersifat konstitusional yang musti kita lakukan. Kita musti menjalankan amanat konstitusi…”

Terasa kalau Tuan Pitaya nampak sekali ingin berkelit, menunda pertarungan. Tetapi pada saat itulah, Lalita Maningka sudah menyodorkan pedang padanya…

            Lalita Maningka,
            “Bersikaplah layaknya laki-laki terhormat, Tuan Pitaya…”

Mau tak mau Tuan Pitaya Mentala menerima pedang itu. Dan begitu Tuan Pitaya sudah memegang pedang, Kolonel Kalawa langsung melakukan serangan. Tapi rupanya Tuan Pitaya cukup mahir juga memainkan pertarungan. Ia menghindar, dan kemudian memberikan serangan. Begitulah, mereka terus memainkan pedang selama percakapan ini.

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Gerakan yang lumayan untuk seorang yang terlalu banyak berfikir…”

Tuan Pitaya Mentala,
“Kekuatan senjata bukan pada tenaga, Kolonel. Pikiranlah yang menggerakkan senjata…”

Tampak Kolonel Kalawa terdesak.

Tuan Pitaya Mentala,
“Bahkan pikiran bisa jauh lebih kuat dari senjata, Kolonel…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Tergantung siapa yang memegang senjata. Saya faham bagaimana memainkan senjata, bahkan ketika musuh-musuh saya mengira saya lemah…”

Dan mendadak dengan begitu piawai Kolonel Kalawa membalikkan keadaan hingga kini ia mendikde permainan Tuan Pitaya, mendesaknya, bahkan cenderung mengejeknya. Kini Tuan Pitaya kerepotan menghindar menangkis serangan, dan terdesak. Keduanya berhenti, dengan pedang saling bersilangan…

Tuan Pitaya Mentala,
“Ente tidak lemah…hanya sering gegabah. Keadaan ini tidak cukup diatasi dengan senjata, Kolonel. Itulah sebabnya ente membutuhkan ane… Kekuatan dan pikiran, seperti dua sisi keping keberuntungan yang ente miliki…”

Kemudian kembali keduanya saling memainkan pedangnya. Tampak keduanya seimbang dalam permainan. Sampai kemudian keduanya terlihat serempak melakukan serangan mematikan. Ujung pedang Kolonel Kalawa tepat mengarah di leher Tuan Pitaya. Sedang ujung pedang Tuan petaya tepat berada seinci di dada Kolonel Kawala.

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Hati-hati leher Anda, Tuan Pitaya…”

            Tuan Pitaya Mentala,
            “Hati-hati jantung ente…”

Lalita Maningka langsung bertepuk tangan menyaksikan akhir permainan itu.

Lalita Maningka,
“Laki-laki memang selalu ingin membuktikan dirinya paling hebat. Tapi nasib dua orang hebat akan selalu mengenaskan dalam pertarungan… Keduanya bisa sama-sama mati konyol… Saya kira, ada hal-hal mendesak yang harus kita matangkan, selain bertingkah konyol seperti itu.”

Tuan Pitaya Mentala,
“Itulah yang tadi ingin ane katakan pada Kolonel.  Secara konstitusi kita musti secepatnya melakukan tindakan-tindakan yang bersifat konstitusional…”

Lalita Maningka,
“Hentikan omong kosong soal konstitusi, Tuan Pitaya! Saya sama sekali tak percaya!”

Kolonel Kalawa Mepaki, menyela cepat,
“Nyonya Lalita Maningka… Nada bicara Nyonya seakan-akan Nyonya yang memberi perintah di sini!!”

Lalita Maningka,
“Syukurlah pendengaran Anda masih baik, Kolonel. Apakah Anda mengharap saya duduk manis melihat ini semua? Ingat, Kolonel, bagaimana pun saya adalah istri syah Presiden almarhum…”

Tuan Pitaya Mentala,
“Dan secara konstitusi mewarisi tapuk kekuasaan tertinggi bila Presiden berhalangan secara tetap…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Nyonya Lalita tidak percaya pada konstitusi, Tuan Pitaya!”

Lalita Maningka,
“Kalau yang ini saya percaya, Kolonel…”

Kolonel Kalawa Mepaki tampak geram, lantas mengeluarkan koin keberuntungannya. Melempar lalu tersenyum demi melihat isyarat dari keping keberuntungannya itu.

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Saya hanya percaya, kalau ini hari keberuntungan saya!”

Lalita Maningka,
            “Anda memang beruntung, Kolonel, karena saya tetap percaya pada Anda…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Kepercayaan Nyonya pada saya, tentu saya hargai. Tetapi yang jauh lebih penting adalah kepercayaan rakyat pada saya.”

Lalita Maningka,
“Dan dengan apa Anda akan memperoleh kepercayaan rakyat itu? Seribu batalion pasukan Anda, barangkali bisa menakut-nakuti mereka. Tapi peluru yang Anda miliki tidak akan cukup untuk menghabisi jutaan rakyat bila mereka terus-terusan membangkang. Karna itulah Anda membutuhkan saya, Kolonel. Karna sayalah yang bisa menenangkan mereka. Mereka menghormati, bahkan memuja saya, sebagai Ibu Suri, sebagai Ibu Negara. Mereka tidak berbondong-bondong mengepung Istana ini, karena mereka tahu saya mendukung Anda.”

Tuan Pitaya Mentala,
“Dan secara konstitusional, ane-lah yang membenarkan tindakan ente...”

Lalita Maningka,
“Cukup, Tuan Pitaya. Saya tak mau dengar soal konstitusi!”

Tuan Pitaya Mentala,
“Tapi tadi Nyonya percaya konstitusi…”

Lalita Maningka,
“Yang ini saya tidak percaya!”

Dengan gayanya yang anggun, penuh kuasa, Lalita Maningka, mendekati Kolonel Kalawa.

Lalita Maningka,
“Saya membiarkan suami saya terbunuh, karena saya yakin ini jalan terbaik bagi Republik ini. Sebagai Presiden dan suami, ia sudah tua. Ia sudah kehilangan arah. Kekuasaanya mulai rapuh… Ketika banyak kasuk-kusuk di kalangan Perwira, saya menaruh harapan besar pada kamu. Saat itu, aku yakin, kamu banteng muda yang dapat diandalkan. Maka, jari yang lembut ini pun diam-diam mulai melapangkan jalan buatmu. Apa kau tidak merasakan itu, Kolonel? Kamu, saat ini pasti masih menjadi Kopral ingusan, bila saya tak mengatur semuanya. Saya lakukan semua itu, Kolonel, karena saya pikir itu cara terbaik menyelamatkan negara ini dari perang saudara…”

Selama Nyonya Lalita Maningka bicara penuh aura kuasa seperti itu, Kolonel Kalawa Mepaki mencoba menutupi perasaannya dengan memain-mainkan koinnya. Melempar menangkap koin itu terus menerus.

Lalita Maningka,
“Seperti Paman Gober, kamu boleh mempercayai koin keberuntunganmu. Tapi sayalah Evita Peron Republik ini. Yang membuat rakyat percaya pada mimpi. Harapan. Sayalah yang selalu tampil membagi-bagikan makanan,  memberi pakaian gratis, memeluk bayi-bayi mereka yang busung lapar…  Saya Ibu Negara yang mempesona mereka, Kolonel. Kalau Anda butuh kepercayaan rakyat, maka Anda membutuhkan kepercayaan saya!”
Tuan Pitaya Mentala,
“Karna itulah, Kolonel…, mari kita bermusyawaroh tanpa su’udzon. Ada beberapa soal yang musti dibereskan. Berdasarkan konstitusi…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Langsung pada pokok perkara, Tuan Pitaya!!”

Tuan Pitaya Mentala,
“Oh, iya, iya… Langkah konstitusional pertama, ialah mengangkat beberapa Menteri…”

Tuan Pitaya menyerahkan selembar daftar pada Kolonel Kalawa.

Tuan Pitaya Mentala,
Ane sudah menyusunnya. Tingal ente paraf. Yang nomor wahid adalah Kementerian Sumber Daya Moral dan Agama. Ente jangan sampai salah pilih mengangkat Menteri ini…”

             Lalita Maningka,
“Siapa calonnya?”

Tuan Pitaya Mentala,
“Sudah barang tentu, yang paling pantas menjadi Menteri Sumber Daya Moral dan Agama adalah sohib ane: Habib Utawi Kadosta. Dia pemimpin spiritual kondang, Ketua Front Pembela Agama, pemegang monopoli kebenaran, dan tercatat sebagai satu-satunya calon penghuni surga dari kota kita… Bagaimana, Kolonel…”

Kolonel Kalawa melempar koinnya, melihat apa yang keluar di koin itu.

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Setuju!”

Tuan Pitaya Mentala,
            “Yang kedua soal Menteri Pendidikan…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Tidak perlu ada Kementerian Pendidikan. Cuman  ngabis-ngabisin anggaran!”

Tuan Pitaya Mentala,
“Tapi secara konstitusi, kita memang wajib mengalokasikan 20 persen anggaran untuk pendidikan.”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Tidak perduli konstitusi! Pokoknya hapus Kementrian Pendidikan! Saya lebih suka Kementrian Sosial…”
Tuan Pitaya Mentala,
“Lho, justru Kementrian Sosial ini yang sudah dihapus oleh Presiden lama kita…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Kalau begitu, hidupkan lagi! Begitu saja kok repot!” Melemparkan koinnya, “Setuju!!”

Tuan Pitaya Mentala,
“Nama-nama kandidat menteri dan pejabat lainnya, bisa ente simak di daftar itu…”

Kemudian Kolonel Kalawa Mepaki, menyebut beberapa nama, mengomentarinya bersama Tuan Pitaya Mentala.  Di sinilah, adegan bisa bermain-main dengan menyebut nama-nama penonton yang hadir. Dan Kolonel Kalawa selalu melemparkan koinnya, dan berseru, “Setuju!”

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Sekarang, bagaimana dengan Kursi Nomer Satu…”

Tuan Pitaya Mentala,
“Beradasarkan konstitusi, secepatnya kita musti melaksanakan Pemilu…”

Kolonel Kalawa Mepaki, mengeram marah,
“Anda meragukan kemampuan saya, Tuan Pitaya?!”

Tuan Pitaya Mentala,
Haqul yakin, Kolonel, ene percaya ama ente. Tapi konstitusi Republik ini mengatakan kalo Negara ini musti menjadi Negara yang tampak demokratis. Ente musti mahfum itu… Apa kata dunia, kalau  kita tidak menyelenggarakan Pemilu. Bisa dianggap junta militer Republik ini… Rakyat pasti bereaksi keras!”

Lalita Maningka,
“Dan kita bisa kena embargo internasional, Kolonel…”

Kolonel Kalawa Mepaki, menatap penuh kecurigaan,
“Saya mulai mencium bau pengkhiatan…

Tuan Pitaya Mentala,
 Ente jalan salah faham, Kolonel…  Ente-lah kunci semua ini. Tetapi ente juga mesti tabayun, bagaimana ente musti memakai kunci itu. Ane sama sekali tak tertarik ama Kursi Nomer Satu. Ane pikir, bukan siapa yang duduk yang terpenting. Tapi siapa yang mengendalikan yang duduk dikursi itu…”

Lalita Maningka,
“Seperti permainan bayang-bayang, Kolonel…”

Tuan Pitaya Mentala,
Soheh! Soheh! Persis seperti itu…”

Tuan Pitaya Mentala mendekati Kolonel Kalawa Mepaki, dengan gaya diplomat ulung yang ingin memberikan pengertian.

Tuan Pitaya Mentala,
            “Dulu, semasa kecil, ane suka sekali bermain bayang-bayang…”

Tuan Pitaya lalu melai memainkan tanggannya, seperti kanak-kanak yang bermain membuat bayang-bayang ditembok. Tangan Tuan Pitaya membuat gambaran burung yang terbang, kepala anjing, dan bermacam permainan bayang-bayang. Pada saat inilah, pada kain yang menjuntai itu, muncul bayang-bayang tangan Tuan Pitaya. Secara tekhnis, bayang-bayang pada kain itu bisa dimainkan oleh aktor pendukung atau kru panggung, dengan mengikuti gerak tangan Tuan Pitaya. Tetapi, bisa saja, secara komedis, sesekali bayangan pada layar itu justru berbeda dengan gerakan tangan Tuan Pitaya.

Tuan Pitaya Mentala,
“Orang akan melihat gerak bayang-bayang itu, tetapi lupa, pada yang menggerakkannya. Bayang-bayang itu seperti hidup, padahal kitalah yang memainkan.  Itulah kenapa seorang jagoan tembak bisa menembak lebih cepat dari bayangannya. Itulah ilusi bayangan, Kolonel! Kita mesti menciptakan ilusi itu. Memilih orang yang mau menjadi ilusi itu…”

Adegan permainan bayangan itu selesai…

Tuan Pitaya Mentala,
“Itulah manfaat mengadakan Pemilu itu, Kolonel. Menciptakan ilusi, bahwa kita menjalankan demokrasi. Nanti, kita ciptakan sebayak mungkin partai. Biarkan setiap orang membikin partai. Partai besar, partai kecil, partai Impian Jaya Ancol… Nah, lalu biarkan setiap orang mencalonkan diri jadi Presiden. Kalau perlu, secara konstitusi kita tetapkan, bahwa wajib hukumnya bagia siapa pun untuk mencalonkan diri jadi Presiden. Mereka boleh menjadi calon idependen bagi dirinya sendiri. Biarkan setiap orang merasa yakin mampu jadi Presiden. Sudah pasti ini lebih banyak manfaatnya dari pada mudaratnya, Kolonel...”

Kolonel Kalawa menatap tajam Tuan Pitaya. Lalu dengan dingin mengarahkan ujung pedangnya ke wajah Tuan Pitaya, hingga Tuan Pitaya tampak kaget, tak menduga. Tapi mendadak Kolonel Kalawa Mepaki tertawa penuh kesenangan…

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Tidak percuma saya memelihara ular macam Anda, Tuan Pitaya…”

Pesta Para (Calon) Presiden

Musik kemeriahan membahana! Janur dan umbul-umbul menandai kemeriahan pesta. Kota bersolek. Orang-orang berbaris dan bernyanyi. Sementara Kolonel Kalawa Mepaki dan Tuan Pitaya Mentala menyaksikan semua kemerihan itu.

            Barisan Warga yang Bernyanyi,
            Demokrasi…demokrasi…
            Ini Pesta Demokrasi
            Demokrasi… demokrasi…    
Bergabunglah bersama
mengubah keadaan
            Ayo mendaftarlah
            Menjadi Presiden yang mulia
            Kita tak cuma memilih
            Tapi juga berhak dipilih.

            Daftarkan ayo daftarkan
            Siapa saja boleh ikut serta
            Menjadi Presiden kita tercinta
            Siapa tahu nasib sedang mujur
            Anda terpilih dan hidup makmur
            Daftarkan ayo daftarkan
Dartarkan ayo segera…

Kolonel Kalawa Mepaki bersama Tuan Pitaya Mentala menyaksikan semua keramaian itu dari suatu tempat. Orang-orang riang bernyanyi, berbaris, larut dalam kegemberiraan perayaan. Beberapa serdadu tampak bertugas sebagai Panitia Penerimaan Pendaftaran itu. Sampai kemudian Tuan Pitaya Mentala, memberikan pidato sambutan…
           
Tuan Pitaya Mentala,
“Saudara-saudara sebangsa setanah air. Sebagaimana diamanatkan konstitusi, setiap warga Negara berhak memilih dan dipilih jadi Presiden. Oleh karna itulah, siapa pun, baik yang merasa sehat mau pun tidak sehat jasmani dan rohaninya, wajib mendaftarkan dirinya. Yang tua, yang muda, ayo silahkan mencalonkan diri menjadi Presiden. Inilah saatnya ente-ente mengiklankan diri jadi pemimpin. Pendaftaran bisa secara langsung, atau lewat SMS. Tinggal ketik REG spasi PILPRES kirim ke Po Box 212. Keputusan pemenang bersifat mutlak, dan tidak bisa diganggu gugat. Barangsiapa yang tidak mencalonkan dan mendaftarkan dirinya menjadi Presiden, maka akan dianggap membanggkang dan merongrong stabilitas Negara. Nah, sekarang silakan ente-ente pada mendaftar. Mohon antri yang tertib, jangan rebutan kayak antri minyak atau sembako.”


Dengan iringan musik, orang-orang itu pun antri mendaftar. Para Serdadu yang menjadi Petugas Pendaftaran, mencatat, memeriksa mulut atau mata atau ketiak orang-orang yang mendaftar itu. Begitu selesai, orang itu langsung berjalan menuju ke arah dimana Kolonel Kalawa dan Tuan Pitaya berada. Tuan Pitaya mengamati calon di depannya itu dengan ketelitian juru taksir profesional pegadaian. Atau mengingatkan pada blantik sapi yang dengan teleti mengamati sapi yang hendak dibelinya. Sementara Kolenel Kalawa Mepaki langsung melemparkan koinnya, untuk memutuskan calon itu…

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Gagal!”

Lalu orang itu segera pergi, dan dilanjutkan giliran orang di belakangnya.

Kolonel Kalawa Mepaki, memainkan koinya,
            “Gagal!”

Dan orang itu pun segera pergi, dilanjutkan giliran orang di belakangnya.

Kolonel Kalawa Mepaki, memainkan koinya,
            “Gagal!”

Begitu seterusnya, Kolonel Kalawa selalu melemparkan koinnya dan berteriak, “Gagal!”, sementara orang-orang berbaris antri, hingga tampak seperti sebuah prosesi pemilihan dengan segala kelucuannya. Ada juga orang yang setelah dinyatakan gagal, kemudian balik kembali ikut antri. 

Tapi mendadak orang-orang yang tengah antri itu menjadi ketakutan ketika muncul Awuk. Seperti anjing yang ingin diperhatikan, Awuk pun menggonggong ke arah antrian orang-orang itu…

            Awuk,
            “Hai…Haik… Hai…Haik… Haik…”

Orang-orang mencoba menyingkir, menghindari Awuk setiapkali ia mendekat dan menyalak. Tuan Pitaya Mentala segera mencoba mengatasi keadaan.

Tuan Pitaya Mentala, mendekati Awuk,
            “Berdasarkan konstitusi, anjing dilarang ikut Pemilu! Pergi! Pergi!”

Tuan Pitaya Mentala segera menyambit Awuk dengan batu. Awuk melolong kesakitan. Dan segera, orang-orang pun ramai-ramai melempari Awuk hingga Awuk terbirit-birit ketakutan. Setalah itu kembali musik menghentak. Kembali orang-orang bernyanyi rampak.



            Nyanyian Orang-orang,
Daftarkan ayo daftarkan
            Siapa saja boleh ikut serta
            Menjadi Presiden kita tercinta
            Siapa tahu nasib sedang mujur
            Anda terpilih dan hidup makmur
            Daftarkan ayo daftarkan
Dartarkan ayo segera…

Kemudian sayup dan menghilang.

Betemu Dua Serdadu

Di pinggiran kota yang sepi…

Antawis Maekani dan Marani Antawis berjalan memasuki kota. Antawis memikul hasil pertaniannya. Antawis tetap sesekali meludah. Marani menggendong bakul dagangannya. Keduanya kaget, ketika mendadak dua serdadu menghadang mereka.

            Kopral Kinepan,
            “Brenti!!!!”

Antawis dan Marani segera berhenti.

            Sersan Siwakan,
            “Surat-surat….”

Antawis menyerahkan surat-surat yang diminta petugas itu. Sersan Siwakan memeriksa dengan seksama.

Sersan Siwakan,
            “Surat Pendaftaran?...”

Antawis Maekani,
            “Ee, maaf…, Surat Pendaftaran apa, ya?”

Sersan Siwakan,
            “Surat bukti pendaftaran… bahwa kamu sudah terdaftar sebagai calon Presiden!”

Antawis Maekani,
            “Waduh, saya nggak tahu itu, Mas…”

Kopral Kinepan,
            “Mungkin dia tidak mendaftar, Sersan.”

Sersan Siwakan, terus memeriksa surat-surat itu,
“Di sini tidak ada catatan, bahwa kamu sudah ikut Pemilihan Presiden! Kamu sengaja menghindar, ya?! Mau membangkang! Mau jadi Golput?!”

Antawis Maekani, meludah…
“Enggak, Mas… Sumpah, Mas…”

Marani Antawis,
“Kami baru datang, Mas… Ndak tahu apa-apa…”



Sersan Siwakan,
“Masa kalian tidak tahu kalau hari ini ada Pemilihan Persiden…”

Marani Antawis,
“Bener, Mas… kami ndak tahu…”

            Kopral Kinepan,
“Tidak mungkin! Ini hari libur Nasional! Semua orang berhenti bekerja karena ikut pemilihan! Kamu malah jualan! Itu namanya mencuri kuntungan! Kamu bisa ditahan!” Lalu berbisik pada Sersan Siwakan, “Jangan-jangan mereka mata-mata para pembangkang…”

Sersan Siwakan jadi lebih waspada, jadi lebih menyelidik menatap Antawis dan Marani yang jadi gemetaran. Untuk menutupi kegugupan, Antawis meludah…

Sersan Siwakan, menganggap ludahan itu penghinaan,
“O, jadi kowe memang ekstrimis-ekstimis, ya! Kowe sengaja meludah begitu! Menghina pemilihan Presiden! Iya?!”

Marani Antawis,
            “Be..bener, Mas… Ka..kami ndak tahu, Mas…”

Sersan Siwakan,
“Kalian juga tidak mendaftar jadi Presiden?!”

Antawis Maekani, gugup meludah,
            “Ndak, Mas… Ndaakk… mana pantes saya jadi Presiden…”

Sersan Siwakan,
“Kalian bener-benar mencurigakan!... Kopral Kinepan, tangkap mereka!!

Segera Kopral Kinepan meringkus Antawis dan Marani. Keduanya mencoba meronta, tetapi segera Sersan Siwakan membantu meringkus, dan segera membawa pergi dua orang yang dicurigai itu. Saat itulah, Kapilka dan Mulati, muncul dan melihat kedua orang tuanya diseret.

            Kapilka & Mulati,
            “Ayaah!!!... Ibuuuuu!!!...”

Kedua serdadu itu terus membawa pergi Antawis dan Marani, kemudian lenyap di tikungan jalan. Kapilkan dan Mulati terus berteriak memangil, mencoba mengejar.

Sejenak keheningan terasa, kemudian muncul Awuk, melintas merangkak menyeret sebelah kakinya yang terluka, kepayahan, seperti anjing yang baru dibantai dan menguik kesakitan, menjerit melengking, kemudian lenyap.

Boneka yang Lucu

Cahaya muncul dari balik kain, atau selubung kelambu. Tampak bayangan seseorang di dalam kelambu itu. Ia tampak bingung, mendapai dirinya di ruang asing itu. Ia tampak duduk di kursi, mengenakan semacam mahkota. Ia terlihat janggal duduk di kursi itu -- kursi megah yang membayangkan kebesaran singgasana. Sesekali ia mengelus-elus kursi itu, merasa takjub, tetapi juga heran tak mengerti. Duduk mendat-mendut, begitu heran dengan kelembutan dan keempukan kursi yang didudukinya.

Lantas, perlahan-lahan selubung kelambu itu terangkat. Bersamaan dengan teriakan yang begitu gegap gempita, suara-suara rakyat yang penuh pemujaan di luar Istana Kepresidenan.

            Suara Teriakan Ribuan Rakyat,
“Hidup Presiden! Hidup Tuan Presiden! Panjang umur Tuan Presiden! Hidup Presiden….”
           
Dan ketika selubung kelambu itu terangkat, tampaklah kalau sosok itu adalah Antawis Maekani. Ia masih celingukan, heran, bingung, dan tak memahami nasib yang tengah mengitarinya.  Ia duduk di singgasana itu seperti duduk di kursi kedai kopi, duduk jegang sambil garuk-garuk bingung, kadang nongkrong, terus terpesona dengan keempukan kursi itu. Sesekali ia terlihat meludah. Sementara diluar Istana Kepresidenan, teriakan ribuan rakyat terus membahana,

Suara Teriakan Ribuan Rakyat,
“Hidup Presiden! Hidup Tuan Presiden! Panjang umur Tuan Presiden! Hidup Presiden….”

Muncul Kolonel Kalawa Mepaki, sembari melemparkan koinnya ke udara beberapa kali, menangkapnya dan melihat koin itu dengan jengkel. Di belakangnya, mengikut Tuan Pitaya Mentala. Juga Lalila Maningka, yang diiringi prajurit yang selalu menaunginya dengan payung kebesaran. Sementara itu Kopral Kinepan dan Sersan Siwakan langsung mengambil posisi berdiri menjaga pintu. Teriakan di luar Istana perlahan surut menghilang.
           
            Kolonel Kalawa Mepaki,  memandangi koin di tangannya,
            “Tidak mungkin!”

Melemparkan kembali koinnya, dan menangkapnya.

Kolonel Kalawa Mepaki, terus memandangi koin di tangannya,
            “Tidak mungkin!”

Melemparkan kembali koinnya, dan menangkapnya.


Kolonel Kalawa Mepaki, masih memandangi koin di tangannya,
            “Tidak mungkin!”

Tuan Pitaya Mentala,
Ente tidak mungkin mengubah takdir, Kolonel. Berapa kali pun ente melempar koin itu, takdir tetap muncul dalam wajah yang sama. Bukankah primbon dan kitab-kitab lama, juga ramalan Jayabaya, sudah menyebut-nyebut soal kedatangannya…”

Di kursi singgasana, Antawis Maekani masih saja celingukan kayak moyet kena tulup, sambil sesekali meludah.

Kolonel Kalawa Mepaki, memandang jijik pada Antawis yang terus meludah,
            “Apakah kita akan terus melanjutkan kekonyolan ini, Tuan Pitaya?!”

Tuan Pitaya Mentala,
“Belajarlah menyesuaikan diri, Kolonel. Lama-lama ente juga akan terbiasa.”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Semoga saja Tuhan tidak sedang bercanda dengan mengirim keledai dungu ini menjadi Presiden kita…”

Antawis Maekani masih saja terlihat takjub dengan kursi yang didudukinya. Terus mengelus-elusnya. Pelan dan penuh hormat, Tuan Pitaya Mentala mendekati kursi singgasana itu. Sementara Kolonel Kalawa mepaki, masih terlihat tidak rela, tak hendak mau menghormat.
 
Tuan Pitaya Mentala,
            “Selamat pagi, Tuan Presiden…”

Antawis Maekani kaget, bingung, celingukan, meludah, tidak menyadari kalau dirinya yang disapa.

Tuan Pitaya Mentala, kepada Kolonel Kalawa,
            “Bersikaplah hormat pada Presiden, Kolonel…”

Dengan sungkan dan terpaksa akhirnya Kolonel Kalawa membungkuk hormat juga…

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Selamat pagi, Tuan Presiden…”

Antawis Maekani kembali celingukan, seolah-olah mencari kalau-kalau ada Presiden di dekatnya. Bahkan mencari-cari hingga ke kolong kursi singgasana.

Antawis Maekani, terus celingukan,
“Presiden? Lho mana Presidennya?...”

Tuan Pitaya Mentala,
            “Andalah Tuan Presiden!”

Antawis Maekani, bingung…
            “Saya???”

Tuan Pitaya Mentala,
            “Ya!

Antawis Maekani, makin bingung…
“Presiden???”

Tuan Pitaya Mentala,
“Secara konstitusional Anda sudah resmi menjadi Presiden!” Menunjuk pada Lalita Maningka, “Dan perkenalkan, Lalita Maningka. Sesuai konstitusi, sekarang ini, dia adalah istri Anda, Tuan Presiden…”

Lalita Maningka langsung membungkuk memberi hormat…

Antawis Maekani, meludah..
“Sampeyan jangan bercanda, ah! Kapan ijab kobulnya!” Lalu dengan lugu mengamati Lalita, “Tapi… kalau montok gini ya ndak papa lah… Seneng kok saya ama yang montok-montok gini…”

Tuan Pitaya Mentala, menunjuk ke Kolonel Kalawa,
“Perkenalkan juga…Kolonel Kalawa Mepaki. Dan saya, Pitaya Mentala, Hakim Tinggi Konstitusi… yang merangkap sebagai penasehat konstitusional Tuan Presiden. Secara konstitusional saya berkewa membantu Tuan Presiden, memberikan pertimbangan dan saran-saran. Tentu saja, saran-saran saya boleh Tuan Presiden terima atau abaikan…, tetapi secara konstitusional wajib dilaksanakan.”

Lalita Maningka,
 “Sekarang saatnya Tuanku menyapa rakyat yang sudah berkumpul di alun-alun Istana…”

Antawis Maekani,
“Sampeyan-sampeyan itu mbok ya jangan keterlaluan bercandanya. Mosok orang macem saya jadi Presiden…”

Lalita Maningka,
“Lihatlah mahkota kebesaran yang Tuan kenakan…”



Antawis Maekani, masih tak percaya, mencopot dan memandangi mahkota itu,
“Ini kan karna saya dipaksa makai ama dua serdadu itu… Katanya mau diajak main ketoprak… Katanya saya dapat peran Angling Darmo… ya saya mau ajah. Meski sebenernya saya itu paling seneng kalau jadi Damarwulan. Wah, kalau saya jadi Damarwulan, selalu penuh penghayatan. Sampai-sampai dulu istri saya kepencut sama saya ya karna saya sering memerankan Damarwulan. Katanya saya ini bener-bener persis kayak Damarwulan, meski di punggung saya ada panunya. Begitu saya naik panggung, penonton langsung bersorak…, teriak-teriak mengelu-elukan saya…”

Tuan Pitaya Mentala,
“Tepat sekali, Tuan Presiden… Yang bersorak di luar sana memang sedang mengelu-elukan Tuan Presiden. Mereka sudah tak sabar menunggu kemunculan Tuan Presiden. Bagaimana pun, berdasarkan konstitusi, Tuan adalah Presiden pertama Republik ini yang dipilih langsung oleh rakyat…” 

Lantas Tuan Pitaya Mentala segera mengenakan mahkota di kepala Antawis Maekani, mengenakan jubah pada tubuhnya, menyematkan pangkat dan tanda kebesaran.Setelah itu Lalita Maningka dengan takzim mengulurkan tangannya pada Antawis, hendak mengajaknya menuju balkon.

Tuan Pitaya Mentala,
“Silakan, Tuan Presiden…”

Antawis Maekani yang bingung hanya bengong. Melihat itu dengan kasar Kolonel Kalawa mendorong Antawis, agar berjalan menuju balkon. Antawis hanya nurut ketika akhirnya Lalita Maningka menggandengnya berjalan menuju balkon. Tuan Pitaya Mentala mengikuti. Kini, di ketinggian balkon istana berdiri Antawis Maekani, ditemani Lalita Maningka dan Tuan Pitaya Mentala. Pada saat itulah, seketika, meledak teriakan penuh pemujaan,

Suara Teriakan Ribuan Rakyat,
“Hidup Presiden! Hidup Tuan Presiden! Panjang umur Tuan Presiden! Hidup Presiden….”

Antawis Maekani tampak bingung, terus sesekali meludah. Setiap kali Antawis meludah, setiap kali itu pula sorak-sorai makin keras. Antawis memandang ke bawah, takjub melihat ribuan manusia menyemut di alun-alun istana.

Suara Teriakan Ribuan Rakyat,
“Hidup Presiden! Hidup Tuan Presiden! Panjang umur Tuan Presiden! Hidup Presiden….”

Tuan Pitaya Mentala,
            “Lihatlah, mereka berebut ludah, Tuan Presiden…”

Tuan Pitaya mencoba membetulkan gaya berdiri Antawis Makeni agar tampak anggun, lalu mengangkat tangan Antawis agar melambai-lamai ke arah rakyat di bawah sana. Tapi Antawis malah garuk-garuk ketiaknya. Lalu keadaan makin konyol ketika Antawis malah berteriak girang ketika melihat orang yang dikenalnya ada di antara ribuan orang di bawah sana.

Antawis Maekani,
“Welah, itu kan anak saya…” berteriak memanggil ke bawah, “Kapilkaaaaa!!! Mulatiiiiiii!!! Ngapain kamu di situ… Ini bapakmu… Hai, ayo sini! Bapakmu iniiii… Masa nggak kenal!”

Tuan Pitaya Mentala menegur,
Tuan Presiden… Jaga wibawa!!”

Antawis Maekani,
“Itu emang anak saya kok… Nah, itu, itu… istri saya juga di sana… Itu di sebelah selatan… Buneee… Buuuu… ini saya, Akangmu… A’a Antawis…”

Suara Teriakan Ribuan Rakyat,
“Hidup Presiden! Hidup Presiden! Hidup Presiden….”

Antawis Maekani, terus memanggil-mangggil ke bawah,
“Buneee.. Ayo toh sini…Siniiii….”

Suara Teriakan Ribuan Rakyat,
“Hidup Presiden! Hidup Presiden! Hidup Presiden….”

Saat teriakan-teriakan itu terus membahana, dari satu arah muncul Awuk, merangkak melintas…

            Awuk, ikut menyahut diantara teriakan-teriakan itu,
            “Hidup Presiden!... Guk guk guk… Hidup Presiden!... Guk guk guk…”

Suara teriakan ribuan rakyat masih membahana. Awuk melintas, dan lenyap.

Antawis Maekani, terus melambai mangggil ke bawah,
“Haii… Haii… Buneee.. Ayo toh sini…Siniiii….”

Tiba-tiba, dengan begitu jengkel, Kolonel Kalawa Mepaki segera menyeret Antawis Maenaki menjauhi balkon. Dengan kasar Antawis dihempaskan ke kursi singgasana.

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Duduk, Tuan Presiden!!!”

Tuan Pitaya Mentala,
“Secara konstitusi, ente tidak berhak membentak Presiden, Kolonel…”


Kolonel Kalawa Mepaki, langsung mengarahkan ujung pedangnya,
            “Cukup, Tuan Pitaya!!”

Tuan Pitaya Mentala,
Ente jangan begitu… Sabaaarrr… Istigfaaarrr… Istigfaaarrr…”

Dengan tenang Tuan Pitaya menurunkan ujung pedang itu. Kemudian mendekati Antawis Maenaki yang masih kaget ketakutan di kursi singgasana. Tampak sesungukan menahan tangis

Tuan Pitaya Mentala,
“Jangan menangis begitu… Presiden tidak boleh menangis, nanti dikritik…”

Antawis Maekani,
“Saya lebih suka jadi Damarwulan…”

Tuan Pitaya Mentala,
“Ini bukan ketoprak, Tuan Presiden…”

Antawis Maekani,
“Lah, kalau bukan ketoprak ya sudah,  saya pulang saja… Kostumnya ini juga ndak enak kok… Sumuk…”

Dengan santai Antawis Maekani melepas mahkotanya, jubahnya, lalu berjalan ngeluyur hendak pergi…

Antawis Maekani,
            “Sudah ah… saya mo pulang dulu…Pamit…Permisi… Monggo… Monggo…”

Dengan sopan dan membungkuk Antawis Maekani berjalan menuju pintu keluar. Tetapi dua serdadu yang menjaga pintu itu langsung menyilangkan tombaknya, menghalangi Antawis Maekani.

            Kolonel Kalawa Mepaki, memerintah,
            “Seret kemari!!!”

Langsung kedua prajurit itu meringkus Antawis Maekani, memegangi dua lengannya, menyeretnya dalam posisi mundur, kemudian langsung mendudukkan di singgasana. Tapi begitu prajurit itu melepaskan pegangannya, tubuh Antawis langsung melorot dari kursi itu. Hingga prajurit itu terpaksa kembali mengangkatnya dan mendudukkannya dengan paksa. Tapi, kembali, begitu dilepas, tubuh Antawis Maekani langsung melorot turun. Begitu berkali-kali.  Sampai kemudian dua prajurit itu dengan keras dan kasar meacakkan tubuh Antawis di singgasanya itu. Antawis meronta, tetapi dengan kuat kedua prajurit itu menahannya agar tetap duduk. Sampai Antawis kelelahan sendiri. Ia pasrah. Lunglai. Terkulai.

Kolonel Kalawa Mepaki, melemparkan koinnya, melihatnya. Lalu berteriak memerintah pada dua prajurit itu.

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Awasi terus! Kepala kalian taruhannya…”

Dua prajurit itu sigap memberi hormat. Kemudian Kolonel Kalawa Mepaki bergegas pergi. Diikuti Tuan Pitaya Mentala, Lalita Maningka dan prajurit yang  terus memayunginya.

Pada saat itulah, selubung kelambu itu kembali menangkup menutupi singgasana, hinga kembali hanya terlihat silhuet Antawis Maekani yang duduk kesepian di singgasana. Di kanan kirinya, berjaga Kopral Kinepan dan Sersan Siwakan…
Panorama dari Atas Singgasana


Tiba-tiba terdengar suara ribut teriakan perempuan. Suara Marani Antawis.

            Suara Marani Antawis,
“Lepaskan! Lepaskan! Saya mau ketemu suami saya! Lepaskan! Biarkan ssaya menemui suami saya!! Lepaskan!!”

Seperti baru saja lepas dari hadangan, Marani Antawin menerobos masuk. Dua serdadu memburunya, dan langsung menyeretnya kembali. Sementara Kopral Kinepan dan Sersan Siwakan yang tengah berdiri di samping singgasana, langsung mengambil posisi siap melindungi Tuan Presiden. Marani Antawis yang hendak dibawa pergi dua serdadu itu terus berusaha melepaskan diri,

Marani Antawis,
“Lepaskan!!... Lepaskan!!... Lepaskan!!...”

Saat itulah, dari satu arah, muncul Lalita Maningka…

Lalita Maningka,
            “Lepaskan!!”

Demi mendengar itu, dua serdadu yang meringkus Marani segera melepaskan perempuan itu. Dengan gerakan anggun yang memancarkan seluruh kekuasaannya, Lalita Maningka segera menyuruh kedua serdadu itu pergi. Ia juga menyuruh Kopral Kinepan dan Sersan Siwakan agar meninggalkan ruangan, menegaskan kalau ia hanya ingin berdua dengan perempuan yang menerobos masuk itu. Kopral Kinepan dan Sersan Siwakan dengan khidmat mengundurkan diri…

Kini tinggal Lalita Maningka dan Marani Antawis. Juga bayangan Antawis Maekani, yang terkurung selubung kelambu.

Lalita Maningka,
            “Kau pasti Marani Antawis…”

Marani Antawis,
            “Saya mau ketemu suami saya!”

Lalita Maningka,
            “Dulu, ia memang suamimu…”

Marani Antawis,
            “Bagi saya, dia tetap suami saya!”


Lalita Maningka,
“Aku bisa memahami. Selalu menyakitkan kehilangan suami. Aku sudah merasakannya berkali-kali…”

Marani Antawis,
“Saya mau mengajaknya pulang.”

Lalita Maningka,
Inilah rumahnya sekarang.”

Marani Antawis,
            “Tolonglah… Saya dan anak-anak membutuhkannya…”

Lalita Maningka,
Rakyat lebih membutuhkannya.”

Marani Antawis, tak mempedulikan Lalita, berteriak memanggil,
“Kang! Kakang Antawis… Ini saya, Kang… Pulanglah…”

Di balik selubung kelambu itu, tampak Antawis Maekani yang tergeragap mendengar suara yang menaggilnya…

            Antawis Maekani,
            Marani… Kamu kah itu, Marani?”

Marani Antawis,
            “Ya, Kakang… ini aku… Marani…”

Antawis Maekani ingin keluar menerobos selubung kelambu itu, tetapi ia tak mampu.

Lalita Maningka,
“Sudahlah, Marani… Pergilah… Demi keselamatanmu…”

Marani Antawis, terus berteriak memanggil,
“Kakang!”

Antawis Maekani,
            “Marani….”

Lalita Maningka,
“Pergilah… Bila kau mau, dengan seijinku, kau bisa sesekali menjenguknya…”

Marani Antawis,
            “Tidak! Tidak! Aku ingin suami saya pulang! Kakangggg!... Kakang….”

Marani nyaris tak terkendali, ia terus berteriak memanggil-manggil suaminya. Melihat itu Lalila Maningka segera bertepuk memanggil penjaga. Seketika muncul dua prajurit, yang langsung meringkus dan membawa pergi Marani Antawis.

            Marani Antawis, meronta terus berteriak,
            “Kakangggg… Kakang Antawisss….”

Antawis Maekani,
            “Marani…. Maraniii… Maraniiii…”

Setelah Marani Antawis menghilang, selubung kelambu itu perlahan terbuka. Tampak Antawis Maekani duduk terkulai di kursi singgasana itu.

Antawis Maekani,
            “Marani…. Kaukah itu, Maraniiii…”

Lalita Maningka,
            “Anda bermimpi, Tuan Presiden?”

Antawis Maekani, bingung dan tak yakin, meludah,
            “Tadi… saya… mendengar suara istri saya…”

Lalita Maningka,
“Kursi itu membuat pendengaran Tuanku jadi peka…”

Antawis Maekani, mencoba mendengar lebih jelas…
“Seperti ada jutaan suara yang mengepung…”

Lalita Maningka,
“Nanti juga Tuanku akan terbiasa. Kursi itu membuat segalanya menjadi lebih jelas. Lihatlah sekeliling Tuanku… Segalanya pasti terlihat berbeda. Manusia jadi tampak berbeda. Benda-benda seperti mengubah dirinya. Segalanya menjadi tampak lebih terang dan jelas…”

Antawis Maekani, takjub memandang sekeliling,
            “Wah, gila…luar biasa….”

Lalita Maningka,
            “Apa yang Anda lihat, Tuanku…”

Antawis Maekani,
“Saya bisa melihat dengan jelas… mana penonon yang bayar, dan mana yang gratisan… Bahkan bintang dan planet-planet yang bergeser, tampak begitu jelas dari kursi ini… Saya ngeri… Semuanya seperti berputaran mengitari kursi ini…”


Lalita Maningka,
“Itulah yang membuat suami pertama saya menjadi gila. Ia begitu terobsesi dengan kursi itu. Ia ingin duduk selamanya di kursi itu. Kursi itu pula yang membuat suami kedua saya sakit-sakitan, sampai akhirnya mati kesepian…”

Pada saat Lalita Maningka bicara itu, dari satu pintu muncul Kopral Kinepan dan Sersan Siwakan, keduanya membawa baki berisi tempat-tempat jamu dari keramik berukir yang indah. Keduanya penuh hormat berdiri di sisi Lalita…

Lalita Maningka,
“Lalu suami saya yang ketiga. Ia ditemukan mati di kursi itu dengan kepala pecah. Suami saya yang keempat sampai ke tujuh, juga mati mengenaskan karna kursi itu. Suami saya yang terakhir…”

Antawis Maekani, tampak panik,
            “Kursi ini menghisap tubuh saya…”

Lalita Maningka,
“Kursi itu akan menghisap siapa saja yang mendudukinya! Saya sendiri nyaris gila karena terlalu lama berda di dekatnya… Saya ingin menjahui kursi itu. Tapi tak bisa. Kursi itu selalu menarik saya kembali ke dekatnya… hanya untuk menyaksikan suami-suami saya mati.”

Lalu dengan menahan kesedihan, dengan jari-jarinya yang gemetar, Lalita Maningka segera meracik jamu di baki yang disodorkan dua serdadu itu. Lalu meminumnya…

Lalita Maningka,
            “Jamu inilah yang membuat saya bertahan…”

Antawis Maekani, meludah,
            “Jamu Sari Rapet, ya?”

Lalita Maningka,
“Ini jamu Sari Darah Perawan, Tuanku… Inilah jamu yang diminum Dayang Sumbi, hingga ia tak menjadi tua. Secangkir sehari, cukup untuk menunda usia. Ini membuat saya mampu bertahan di samping kursi itu, Tuanku…”

Antawis Maekani, meludah…
Saya ndak betah… Terlalu empuk… Enakan juga duduk di lincak…”
           
Lalita Maningka,
“Tuan hanya belum menyadari, betapa hebatnya kursi itu. Dari kursi itu Tuan bisa mengubah apa saja. Memerintah apa saja. Tuan bisa memindahkan gunung, membendung lautan, melenyapkan hutan…”


Antawis Maekani,
            “Ah, ndak percaya saya…”

Lalita mengambil camgkir jamunya, memperlihatkan ke arah Antawis Maekani,

Lalita Maningka,
“Cobalah Tuan perintahkan cangkir ini terbang, maka ia akan terbang…”

Antawis terlihat ragu, tak percaya, hanya memandangi cangkir di tangan Lalita itu.

Lalita Maningka,
            “Ayolah, Tuanku…”

Lalu dengan tidak yakin, tampak hanya iseng-iseng saja, Antawis Maekani menunjuk cangkir itu…

Antawis Maekani,
            “Terbang…”

Mendadak cangkir di tangan Lalita Maningka langsung terbang. Membuat Antawis Maekani kaget sekaligus takjub.

Antawis Maekani,
            Welah, terbang beneran, to?”

Lalita kembali mengambi gelas, memperlihatkan pada Antawis. Dan Antawis yang mulai kagum itu jadi terlihat senang, memerintah gelas itu untuk terbang.

Antawis Maekani,
            “Terbang!”

Dan gelas di tangan Lalita itu pun melayang-layang terbang… Seperti anak kecil yang begitu senang dengan mainan barunya, Antawis Maekani berkali-kali meludah saking begitu riang.

Antawis Maekani,
            “Terbang!”

Maka baki yang sedang di pegangi Kopral Kinepan pun terbang….

Antawis Maekani, menunjuk baki yang dipegangi Sersan Siwakan
            “Terbang!”

Tapi baki itu tidak terbang.


            Antawis Maekani,
            “Terbang!”

Baki di tangan Sersan Siwakan tetap tak terbang.

Sersan Siwakan,
“Maaf… senarnya belum dipasang…”

Lalu Sersan Siwakan segera memasang tali senar pada baki itu.

Antawis Maekani,
            “Terbang!”

Dan baki di tangan Kopral Kinepan pun terbang melayang-layang. Begitu seterusnya, barang-barang yang tadi dibawa Kopral Kinepan dan Sersan Siwakan melesat terbang melayang karena secara tekhnis dikaitkan dengan senar, yang ditarik oleh kru panggung. Bisa dikembangkan tekhnis atau trik lainnya. Misalkan kotak yang disuruh bergeser. Tongkat atau tombak yang diperintahkan bergoyang-goyang dan menari dangdutan, misalnya.
           
            Antawis Maekani,
            “Apa saya juga bisa memindahkan pohon di luar sana?”

Lalita Maningka,
            “Dari kursi itu Tuanku bisa memerintahkan apa saja…”

Lalu Antawis Maekani melihat ke kejauhun, seakan melihat ke luar istana, menunjuk dan memerintah,

            Antawis Maekani,
            “Pindah!”

Medadak muncul  pohon yang bergerak. Secara karikatural, pohon bergerak karena ada kru yang menggerakkannya. Dan keberadaan kru ini bisa dibocorkan. Atau pohon ini bisa dihadirkan oleh para aktor yang membentuk koposisi sebuah pohon.

Antawis Maekani,
            “Berhenti!”

Pohon itu berhenti.

Antawis Maekani,
            “Geser!”

Pohon itu pun bergeser.

Antawis Maekani,
            “Berhenti!”

Pohon itu pun berhenti.

Antawis Maekani,
            “Pergi!”

Dan pohon itu pun langsung pergi keluar panggung. Antawis Maekani menjadi tampak menikmati permainan itu. Ia pun dengan penuh keisengan mengerjain Kopral Kinepan dan Sersan Siwakan. Ia memerintahkan kedua serdadu itu lari keliling, koprol, merayap dan semua tindakan konyol lainnya. Hingga Kopral Kinepan dan Sersan Siwakan kecapaian terengah-engah. Sementara Antawis Maekani cengegesan, meludah, duduk di kursi singgasana.

Lalita Maningka, dengan isyarat tangannya, menyuruh Kolonel Kinepan dan Sersan Siwakan untuk pergi.

Lalita Maningka, mendekati Antawis,
“Kini Tuan mengerti, betapa menyenangkannya kursi ini…”

            Antawis Maekani,
            “Tapi saya ndak betah… Saya kangen istri saya… Anak saya…”

Lalita Maningka,
            “Saya akan selalu menemani, Tuan…”

            Antawis Maekani,
“Biasanya malem-malem begini istri saya nembang…Dia itu pernah jadi sinden sih…”

Lalita Maningka,
“Dulu, sewaktu kecil saya juga seneng nyanyi… Pernah jadi Idola Cilik… kalau Tuanku berkenan, saya kan menyanyi untuk Tuanku… Biar Tuanku bisa istiahatlah. Banyak yang harus Tuan lakukan besok pagi…”

Dengan lembut dan penuh perhatian Lalita Maningka segera menyelimuti Antawis Maekani. Sementara musik sendu, seakan penghantar tidur, mengalun memenuhi ruangan. Lalita Maningka pun mulai bersenandung, terdengar bagai lagu yang hendak meninabobokan tengah malam,

Lalita Maningka, bernyanyi…
Bintang yang jauh
Dimana kusembunyikan keluh
Sedang dalam kelam
Tersembunyi ancamam
Yang bergema
Hanya keasingan

Bulan yang penuh
Tidakkah kau pernah mengaduh
Kadang kala terang
Tak nampak kenyataan
Yang tersisa
Hanya kesangsian

Sementara di kursi singgasana itu, Antawis Maekani perlahan lelap dalam senyap mimpinya. Lalita Maningka memandanginya dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Kadang ia menyentuhnya lembut, seperti ingin merasa nyaman di sampingnya.

Lalita Maningka, bicara sendiri, entah pada siapa,
“Bertahun-tahun aku ingin bisa tidur senyaman tidurmu… Orang malang, atau orang paling bahagia? Ah, entahlah…Seperti ada yang aneh dalam dada saya… Saya tak pernah merasakan ini dengan suami-suami saya dulu…”

Seperti muncul dari balik keremangan ruangan, perlahan muncul Kolonel Kalawa Mepaki, memandangi Lalita Maningka yang tengah berdiri di dekat Antawis Maekani yang tertidur lelap di kursinya.

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Lalita!”

Lalita Maningka kaget oleh panggilan itu. Ia buru-buru mendekati Kolonel Kalawa Mepaki. Kolonel Kalawa segera merentangkan tangan menyambut perempuan itu. Terasa betul kalau Kolonel Kalawa ingin meluapkan perasaannya, ingin memeluknya. Kolonel itu merengkuh pundak Lalita, mencoba mendekap dan menciumnya. Tetapi dengan halus Lalita Maningka menahannya.

Kolonel Kalawa Mepaki, tampak kesal,
            “Aku tak suka kau selalu repot mengurusnya…”

Lalita Maningka,
“Jangan kekanak-kanakan, Kolonel. Tak usah terlalu terbawa perasaan…”

Lalita Maningka hendak pergi, tetapi dengan cepat Kolonel Kalawa segera meraih tangan perempuan itu. Dan dengan kasar menariknya, seperti hendak menguasainya.

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Aku tak mau kamu mempermainkan perasaanku! Pada saatnya pasti kutagih apa yang menjadi bagianku!”

Kolonel Kalawa Mepaki kembali hendak mencium Lalita Maningka. Tapi pada saat itu mendadak muncul Awuk, yang langsung menggonggong.

            Awuk,
            Guk guk guk!!”

Kolenel Kalawa kaget hingga cengkeramannya mengendr, pada saat itulah lalita Maningka bisa melepaskan diri dan segera pergi.

Awuk,
            Guk guk guk!!”

Kolonel Kalawa Mepaki begitu geram dan jengkel. Segera ia mendekati Awuk dan langsung menendangnya keras-keras. Awuk langsung melolong kesakitan, lari terbirit-birit sambil terkaing-kaing…

Cahaya di sekitar ruangan meremang. Selubung kelambu menaungi kursi itu, seakan menjaga tidur Antawis Maekani yang begitu lelap. Lalu segalanya menggelap.

“Selamat Pagi, Tuan Presiden…”

Pagi datang. Cahaya terang. Tuan Pitaya Mentala muncul diiringi Kopral Kinepan  dan Sersan Siwakan. Tuan Pitaya segera mendekati selubung kelambu yang masih tertutup itu.

Tuan Pitaya Mentala,
            “Selamat pagi, Tuan Presiden…”

Tapi tak ada tanggapan.

Tuan Pitaya Mentala,
“Semoga mimpi menyenangkan…”

Tetap tak ada jawaban. Membuat Tuan Pitaya mulai curiga.

Tuan Pitaya Mentala,
Tuan Presiden…”

Karena tetap tak ada jawaban, Tuan Pitaya Mentala pun memberi isyarat kepada Kopral Kinepan dan Sersan Siwakan untuk menyelidiki. Segera kedua serdadu itu menerobos selubung kelambu itu, seperti menerobos paksa masuk ke dalam kamar kepresidenan. Dan mendapati kursi itu kosong. Keadaan langsung panik.

            Sersan Siwakan,
            “Presiden hilang!!”

            Tuan Pitaya Mentala, memerintah,
            “Siaga Satu!”

Segera Sersan Siwakan dan Kopral Kinepan melesat keluar, seperti memburu. Seketika itu pula alarm tanda bahaya terdengar. Melengking memberikan peringatan. Dari satu arah muncul Kolonel Kalawa Mepaki, tergesa, gugup tapi sigap. Sementara dari arah lainnya, berseberangan dari arah munculnya Kolonel Kalawa, muncul Lalita Maningka diiringi serdadu pembawa payung yang menaunginya. Semua gugup, curiga penuh tanya menatap Tuan Pitaya. Sirene terus meraung-raung.

Sersan Siwakan dan Kopral Kinepan kembali muncul, melapor.

Sersan Siwakan,
            “Kami sudah periksa! Presiden tak ada!”

            Lalita Maningka,
            “Pasti musuh-musuh sudah membawanya keluar Istana!”


            Tuan Pitaya Mentala.
            “Mungkin sudah dibunuhnya!”

            Lalita Maningka,
            “Kenapa sampai kecolongan, Kolonel!”

            Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Diam semuanya!!”
           
Susana begitu tegang. Kolonel Kalawa melempar koinnya, kemudian menatap tajam dua serdadunya.
           
            Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Kalian ingat apa perintah saya?!”

Kopral Kinepan & Sersan Siwakan, serempak,
            “Siap, Kolonel!”
                                               
           Kopral Kinepan
            “Kami harus terus mengawasinya.”

            Sersan Siwakan,
            “Kepala kami taruhannya.”

Begitu cepat Kolonel Kalawa Mepaki mencabut pistolnya dan langsung menembak kepala dua serdadu itu, yang langsung ambruk dengan kepala pecah. Tuan Pitaya dan Lalita Maningka terbelalak pucat.

 Kolonel Kalawa Mepaki, sambil mengacungkan pintolnya
 “Mulai sekarang, semua dalam komando saya!!       
                  
Dalam suasana yang begitu tegang, mendadak muncul Antawis Maekani, seperti baru muncul dari kamar mandi: mengenakan celana kolor pendek, membawa gayung peralatan mandi, sambil menghanduki rambutnya yang basah. Ia bingung melihat sekelilingnya, tak menyadari apa yang terjadi. Malah sesekali mengeluarkan dahak dan meludah.

Antawis Maekani,
“Ada apa ini?”

Antawis memandang sekelilingnya, masih nggak ngerti. Lalu melihat dua serdadu yang terkapar bersimbah darah itu.

Antawis Maekani, meludah…
“Kenapa dia?”

Cepat Tuan Pitaya Mentala mencoba mengatasi suasana,

            Tuan Pitaya Mentala,
“Mereka pemberontak, Tuan Presiden…”

Antawis Maekani, kepada Kolonel Kalawa,
            “Lho, bukanya mereka anak buah kamu?!”

Tuan Pitaya Mentala,
“Ternyata mereka mata-mata yang disusupkan ke mari. Mereka hendak membunuh Tuan Presiden…”

Antawis Maekani kembali meludah, membuat Kolonel Kalawa jengkel,

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Berhenti meludah, Tuan Presiden!!”

Antawis Maekani
“Waah, kalau saya ndak boleh meludah ya sudah, lebih baik saya ndak jadi Presiden saja… Ndak jadi Presiden juga ndak patekan kok…”

Tuan Pitaya Mentala,
            “Jangan, Tuan Presiden…”

Tiba-tiba Kolonel Kalawa Mepaki mengambil tempolong, dan langsung menyodorkannya pada Tuan Pitaya mental.

Kolonel Kalawa Mepaki, setelah melempar koinnya,
            “Mulai sekarang, kamu bertanggungjawab mengurus ludah Presiden!!”

Tuan Pitaya mula-mula hendak menolak, mencoba mengelak. Tetapi melihat sikap Kolonel Kalawa yang tegas dan tak hendak dibantah, akhirnya Tuan Pitaya menerima juga tempolong yang disodorkan itu.

Langsung Antawis Maekani meludah, dan buru-buru Tuan Pitaya menadahi ludah itu dengan tempolong itu. Begitulah, sejak saat itu, maka setiap kali Antawis meludah, Tuan Pitaya buru-buru menyodorkan tempolongnya.

Beberapa prajurit muncul, menyeret dan membawa pergi mayat Kopral Kinepan dan Sersan Siwakan.

Metamorfosa Dusta


Setelah mayat dua serdadu itu dibawa pergi, terdengar teriakan-teriakan dari luar istana.

            Teriakan-teriakan,
            “Tuan Presiden! Tuan Presiden! Tuan Presiden!...”

Antawis Maekani, yang masih bercelana kolor dengan peralatan mandinya memandang ke luar istana, ke arah penonton…

Teriakan-teriakan,
            “Tuan Presiden! Tuan Presiden! Tuan Presiden!...”

Kemudian Antawis Maekani melambai-lambai, seolah membalas teriakan-teriakan yang membahana dari luar istana itu. Kolonel Kalawa segera menegur,

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Tuan Presiden, Anda mesti menjaga wibawa! Masuklah! Ini bukan dagelan!”
           
            Tuan Pitaya Mentala,
            “Saya kira, apa yang dilakukan Presiden tidak melanggar konstitusi. Bukankah dulu kita juga pernah punya Presiden yang lucu?”
           
Kolonel Kalawa Mepaki, menghardik keras,
            “Masuk Tuan Presiden!!”

Antawis Maekani langsung mengkerut, takut, dan segera menuju kursi singgasana. Ia duduk di sana dengan cemberut, ngambek, seperti anak kecil yang tak diperbolehkan bermain.

            Lalita Maningka, membujuk menghibur,
“Ayolah Tuanku…, jangan cemberut begitu…”

Antawis Maekani,
“Ndak mau… ndak mau… Pokoknya saya ndak mau jadi Presiden! Ngapain jadi Presiden kalo apa-apa ndak boleh.”

            Lalita Maningka,
“Semua demi keselamatan Tuanku. Banyak pembangkang, kaum oposan, yang selalu ingin membidik Tuanku. Mereka selalu mencari celah kesalahan Tuanku…”



Tuan Pitaya Mentala,
“Itulah sebabnya Kolonel Kalawa mesti melaksanakan Prosedur Standar Keamanan untuk menjaga Tuanku, sebagaimana amanat konstitusi…”

Kolonel Kalawa Mepaki, membentak,
“Cukup!” Lalu kepada Antawis Maekani, “Saat ini, Tuanku, ribuan demonstran mengepung Istana. Mereka menuntut bertemu Tuanku. Kalau ini dibiarkan…”

Antawis Maekani,
“Emangnya mau ngapain mereka pingin ketemu saya?

Tuan Pitaya Mentala,
            “Mereka menagih janji, Tuanku?

Antawis Maekani,
            “Janji? Emangnya saya pernah janji apa ama mereka?

Tuan Pitaya Mentala,
“Tidak penting apa yang sudah Tuan Presiden janjikan. Terlalu banyak urusan yang musti Tuan Presiden pikirkan, jadi sangat wajar kalau Tuan Presiden tidak ingat, atau lupa. Malah berdasarkan konstitusi, lupa itu memang hak prerogratif Presiden. Biarlah saya yang mengurus mereka…”

Antawis Maekani,
Elah dalah, kok malah muter-muter omongannya. Kamu itu belum menjawab pertanyaan saya! Kenapa mereka pingin ketemu saya?! Jawab!” Lantas bergaya meledek, “Secara konstitusi kamu itu wajib menjawab pertanyaan saya lho, ya… Nah, sudah pinter toh saya, sudah ngerti konstitusi… Ayo jawab!”

Antawis Maekani lalu hendak meludah, cepat-cepat Tuan Pitaya Mentala membungkuk penuh hormat menyorongkan tempolong. Dan Antawis Maekani pun meludah di tempolong yang dipegangi Tuan Pitaya itu.

Tuan Pitaya Mentala,
“Mereka hanya perusuh yang kecewa. Tuanku… Mereka marah karena desa mereka terendam lumpur. Hidup mereka hancur karna lumpur. Lalu mereka menyalahkan Tuan Presiden. Menuntut pembayaran ganti rugi secepatnya…”

Antawis Maekani,
“Kalau cuman begitu persoalannya, kan ya gampang. Kasih saja secepetnya mereka ganti rugi. Tidak boleh sepeser pen yang tidak sampai ke tangan mereka. Beri mereka layanan kesehatan…” lantas memerintah Tuan Pitaya, “Cepet, sampaikan pada mereka…”



Tuan Pitaya Mentala,
“Masih ada yang lain, Tuan Presiden…”

Antawis Maekani,
“Apa lagi?”

Tuan Pitaya Mentala,
“Soal para petani, Tuan Presiden. Mereka menuntut subsidi pupuk…”

Antawis Maekani,
 “Lho ya dituruti saja. Kalau perlu beri pupuk gratis. Bibit gratis. Saya kan ya dulunya petani, jadi tahu kesulitan mereka. Kalau perlu, kasih tiap petani itu sapi. Biar mereka kembang biakan. Kalau setahun sapi itu beranak dua ekor, kan dalam lima tahun mereka punya sepuluh sapi. Dalam dua puluh tahun, mereka bisa punya empat puluh ekor sapi, ya ya ya…”

Lalita Maningka,
“Kalau sapi itu ada yang mati?”

Antawis Maekani,
 “Yang mati tidak usah dihitung.”

Tuan Pitaya Mentala,
“Masih ada lagi, Tuan Presiden... Soal korupsi, jaksa dan hakim yang terlibat suap, krisis listrik, kenaikan harga sembako dan minyak tanah, busung lapar, pengangguran, pembangunan mono rel yang tertunda, pengembangan blue energy, pemilihan kepala daerah, banjir, kebakaran hutan…”

Antawis Maekani, cepat memotong,
“Stop! Stop! Stop!...  Lah kok banyak banget persoalannya. Saya kan jadi pusing. Mestinya kalau begini kan saya punya wakil…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Saya kira tidak perlu! Nanti kalau punya Wakil Presiden malah merepotkan dan banyak bikin masalah…”

Tuan Pitaya Mentala,
“Dan secara konstitusi…”

Kolonel Kalawa Mepaki, mengarahkan pedangnya,
“Cukup, Tuan Pitaya!!”

Lalu Antawis Maekani hendak meludah, cepat-cepat Tuan Pitaya Mentala membungkuk menyorongkan tempolong…


            Antawis Maekani, sambil sesekali meludah,
“Saya pingin semua koruptor dihukum seberat-beratnya. Kasih mereka baju khusus. Sembako dan minyak nggak boleh lagi naik. Pejabat nggak boleh menyelenggarakan busung lapar. Kasih larangan di sungai-sungai: Banjir Dilarang Datang Sembarangan. Kepala daerah yang kalah tidak boleh marah… Pokoknya rakyat mesti dibikin makmur dan senang hidupnya…”

Tuan Pitaya Mentala,
“Baik, Tuan Presiden. Saya akan sampaikan semuanya…”

Musik pergantian adegan dan suasana. Muncul serombongan orang, yang berperan sebagai rakyat, membawa properti televisi besar. Properti ini bisa terbuat dari triplek, yang digeser, yang menggambarkan sebuah pesawat televisi, dengan bagian tengah bolong seakan-akan layar kaca televisi. Pada saat inilah, Kolonel Kalawa Mepaki dan Lalita Maningka beserta prajurit yang memayunginya keluar, exit. Juga Antawis Maekani pun keluar. Tinggal Tuan Pitaya Mentala, yang juga ikut bergerak bersama rombongan pembawa televisi itu. Kemudian rombongan rakyat ini berhenti di sebuat tempat. Orang-orang itu pun kemudian duduk menghadap televisi itu, seperti menonton televisi ramai-ramai di depan kantor kelurahan.

Dan di tengah-tengah telivisi itu, muncul Tuan Pitaya Mentala, seakan-akan tengah memberi keterangan melalui layar televisi itu. Sebelum mulai bicara, terlihat Tuan Pitaya Mentala memasang kumis di wajahnya.

Tuan Pitaya Mentala,
Ane musti memakai kumis, biar afdol dan menyakinkan sebagai Jurubicara Keperesidenan…” Lalu bergaya formal, layaknya Jurubicara Kepresidenan. “Saya ingin menyampaikan beberapa hal, yang telah menjadi perhatian Tuan Presiden akhir-kahir ini. Beliau selalu memikirkan masak-masak setiap keputusan Beliau. Agar kebijaksanan-kebijaksaannya terukur, terarah dan terencana. Jadi tidak benar kalau dikatakan Tuan Presiden selalu ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Tuan Presiden ingin memberikan yang terbaik buat rakyat…”

Orang-orang, para rakyat itu, terus duduk menatap televisi. Sementara itu, telihat Awuk muncul, merangkak pelan mendekati kerumunan orang-orang itu. Kemudian Awuk berhenti, pada posisi yang berjarak dengan orang-orang itu, duduk seperti seekor anjing yang ikutan menonton siaran televisi. Sesekali, Awuk menyalak, seakan menanggapi apa yang disampaikan Tuan Pitaya Mentala.

Tuan Pitaya Mentala,
“Tuan Presiden telah mengambil langkah-langkah strategis, soal korban lumpur. Beliau menyatakan, bahwa para korban itu dianggap melanggar peraturan karena tinggal dilokasi semburan lumpur. Karena itu tak akan ada ganti rugi. Malah Beliau sempat menegaskan, agar para warga itu menanggung semua beban yang dikeluarkan Negara selama proses penanggulangan lumpur itu.”

Terdengar Awuk menggonggong menyalak…

Tuan Pitaya Mentala,
“Sementara soal maraknya korupsi akhir-kahir ini, Beliau kembali meneguhkan komitmennya. Bahwa Pemerintah akan memberikan penghargaan kepada para koruptor itu, atas jasa-jasanya menjarah kekayaan Negara. Karena itu Tuan Presiden merasa, tidak diperlukan baju khusus buat para koruptor…”

Terdengar Awuk menggonggong menyalak…

Tuan Pitaya Mentala,
“Kemudian Tuan Presiden juga akan kembali menaikan harga sembako dan minyak tanah…”

Terdengar Awuk kembali menggonggong menyalak…

Tuan Pitaya Mentala, mengomentari gonggongan itu,
“Oo kirik! Diberi tahu malah njegok!” Lalu kembali formal menyampaikan informasi. “Tuan Presiden sangat memahami apa yang menjadi harapan semua rakyat. Karenalah itu Tuan Presiden…”

Mendadak dari kerumunan itu bangkit Kapilka, yang langsung mengarahkan remote ke televisi itu, hingga suara Tuan Pitaya Mentala langsung tak terdengar. Ini semacam televisi yang suaranya di-mute, dimatikan. Hingga di dalam televisi itu Tuan Pitaya hanya tampak menggerak-gerakkan mulutnya, tetapi tak muncul suaranya.

            Seseorang, protes,
            “Lho kok dimatiin suaranya…”

Kapilka,
            “Apa kalian masih percaya omong kosong itu?!”

Seseorang, sembari merebut remote dari tangan Kapilka,
            “Kalau nggak suka ya sudah, nggak usah nonton…”

Lalu orang itu mengarahkan remote ke televisi, menghidupkan suaranya. Langsung terdengar kembali Tuan Pitaya Mentala yang tengah berbicara.

Tuan Pitaya Mentala,
“….seperti dilaporkan…Tuan Presiden saat ini terus berupaya keras untuk mengurangi jumlah angka statistik kemiskinan. Jadi yang menjadi prioritas Presiden adalah mengurangi jumlah angka statistiknya…bukan mengurangi kemingkinannya…”

Dengan jengkel Kapilka kembali merebut remote dari orang tadi, dan langsung mengarahkan ke televisi, hingga suara Tuan Pitaya Mentala kembali mati.

Kapilka,
            “Setiap hari kita dibohongi! Dan kalian masih suka Presiden itu!”

Seseorang,
            “Ingat lho, bagaimana pun Presiden itu dulunya Bapakmu!”

Kapilka,
“Ini bukan soal anak dengan Bapak! Ini soal rakyat dan pemimpinnya! Kita nggak boleh diam saja.”

Terdengar Awuk menggonggong…

Kapilka,
“Bahkan anjing pun akan menggigit bila terus ditindas! Kita harus melengserkannya. Ketakutan hanya akan jadi lahan subur penindasan. Di kota para mahasiswa sudah mulai protes. Apa kalian akan terus diam saja?!”

Seseorang,
            “Kami kan cuman petani….”

Kapilka,
“Ini bukan cuman urusannya petani! Bukan cuman urusannya buruh. Bukan cuman urusannya kerani, pedagang, nelayan, tukang becak… ini urusan rakyat! Urusan kita! Kalau kita bersatu, rakyat tak bisa dikalahkan! Rakyat bersatu pasti tak bisa dikalahkan.” Lalu dengan heroik mulai meneriakkan yel, “Rakyat bersatu tak bisa dikalahkah! Rakyat bersatu tak bisa dikalahkah! Rakyat bersatu tak bisa dikalahkah! Rakyat bersatu tak bisa dikalahkah!...”

Mula-mula orang-orang tetap diam. Tetapi Kapilka terus meneriakkan yel-yel makin semangat. Lalu satu orang membalas yel-yelnya, disusul satu orang lainnya, lalu lainnya dan lainnya, hingga semuanya hanyut dalam pekikan yel-yel yang penuh semangat. Lalu mereka bangkit bergerak, berbaris menderap, bagai jutaan rakyat yang mulai bergerak, terus memekikkan yel-yel, “Rakyat bersatu tak bisa dikalahkah! Rakyat bersatu tak bisa dikalahkah! Rakyat bersatu tak bisa dikalahkah!...”  Kemudian mereka bergerak masuk, yang secara tekhnis berfungsi juga sebagai cara menyingkirkan set properti televisi itu.

Awuk mengikuti di belakangnya. Sambil sesekali terus menggonggong.


Kidung Murung

Di kursi singgasana itu, Antawis Maekani tampak lunglai digerogoti kesepian. Tubuhnya seperti layu. Duduk menatap kekosongan. Sayup sayup terdengar tembang murung – tembang yang dinyanyikan oleh Marani Antawis – yang bagaikan menyelusup dalam kerinduannya. Dan Antawis Maekani seakan mencari-cari tembang itu…

Antawis Maekani,
“Tembang itu… Terdengar sayup… Saat saya tertidur… Saat saya terjaga… Ia entah datang dari mana.. Bertahun-tahun terbenam di kursi ini membuat saya makin asing… Inilah pusat dunia yang membuat saya seperti terlempar dalam kehampaan. Kursi ini pusat gravitasi. Kursi itu menghisap siapa pun mendekat! Ia mencengkeram kuat… Berkali-kali saya ingin pergi, tetapi selalu ada sihir yang membuat saya kembali lagi. Memaksa untuk terus duduk di sini. Dan kalian mendakwa saya tak mau lengser dari kursi ini…
Saya capek menanggung keasingan dan kesepian! Sementara kalian terus saja datang dengan segala macam masalah. Setiap saat saya dipaksa untuk menyelesaikan semua masalah kalian. Emangnya saya ini pegadaian, yang bisa mengatasi masalah tanpa masalah…
Bagaimana saya bisa mengatasi masalah, kalau di sinilah sumber segala masalah. Inilah Republik masalah. Para politisi selalu menyelesaikan masalah dengan cara menambah masalah. Saya dari hari ke hari mencoba memahami. Tapi tak kunjung ngerti. Sejarah seperti tak pernah mengajarkan pada kita bagaimana caranya mengatasi masalah. Bagaimanakah para Presiden pendahulu saya menghadapi masalah?
Presiden pertama yang revolusioner tak pernah takut dengan masalah.., dan karena itu ia jadi gemar membuat masalah. Lalu Presiden kedua. Ia termasuk jenis dari pada Presiden yang selalu berusaha menutup-nutupi masalah. Setiap masalah mesti di-pikul duwur pendem jero. Supaya dari pada semua masalah jadi kelihatan baik dan benar. Kemudian Presiden ketiga, Presiden yang hanya seumur jagung. Ia terlalu suka mencanggih-canggihkan masalah, duss, agar semua masalah jadi kelihatan hitech. Lalu Presiden keempat, yang selalu menggampangkan masalah. Rupanya ia jenis Presiden yang tidak mau repot dengan masalah.  Berbeda dengan Presiden kelima yang menggantikannya. Presiden kelima ini agak sulit diterka, karena ada masalah  atau tidak ada masalah, ia teteeep diam saja. Silence is gold. Kemudian Presiden keenam, yang ingin selalu tampak anggun dan santun, tetapi selalu bimbang setiap kali mau memutuskan masalah…
Sedang saya? Mengatasi masalah saya sendiri saya tak bisa. Mungkin kalian lebih pantas duduk di kursi ini… Kalian yang masih muda… Coba, siapa di antara kalian yang mampu….”

Sampai di sini bisa berimprovisasi dengan mengomentari para tokoh yang kebetulan hadir menonton pertunjukan ini. Lalu Antawis Maekani makin terlihat murung. Ia bersandar kesepian. Sementara sayup kidung itu kembali terdengar, begitu murung…


Antawis Maekani,
“Tembang itu… tembang itu… Saya seperti pernah mendengarnya… dulu… dulu…”

Masuk Lalita Maningka, diiringi dua serdadu. Satu serdadu pembawa payung kebesaran. Dan satu serdadu membawa baki gelas jamu-jamu. Lalita Maningka memandangi Antawis Maekani yang rapuh di singgasananya.

Lalita Maningka,
“Kenapa begitu murung, Tuanku…”
           
Antawis Maekani,
“Saya lupa bagaimana rasanya bahagia…”

Dengan anggun Lalita Maningka mengambil tempat untuk duduk, tak jauh dari singgasana itu.

Lalita Maningka,
“Ayolah, Tuanku. Mari kita obati kesepian dengan minum jamu…”

Lalita Maningka kemudian meracik jamu-jamu di baki itu. Setiap gerakan tangannya begitu menyenangkan, seperti gheisa yang melayani junjungannya. Antawis Maekani memandanginya.
           
Lalita Maningka,
“Jamu ini ibarat kebahagiaan yang ingin saya bagi dengan Tuanku… Kemarilah, Tuanku…”

Pelan, Antawis Maekani pun mendekati Lalita Maningka.

            Lalita Maningka,
“Duduklah, Tuanku…”

Antawis pun duduk di sisi Lalita Maningka. Keduanya duduk berdekatan, seperti sepasang sejoli.

Antawis Maekani,
            “Apa ini jamu Sari Darah Perawan?”

            Lalita Maningka,
“Ini jamu untuk mengobati kesepian…”

Kemudian Lalita menyodorkan secangkir jamu pada Antawis. Ia juga mengambil secangkir jamu itu buat dirinya. Lalu keduanya menikmati jamu itu, seperti ritual minum teh.

            Lalita Maningka,
            “Bagaimana, Tuanku… Semoga Tuanku merasa lebih enak…”

Antawis Maekani,
            “Yaa, lumayan juga sih… Jadi lumayan senang…”

Lalita Maningka,
            “Terimakasih, Tuanku…”

Antawis Maekani, malu-malu,
“Eemm,  pasti akan lebih menyenangkan lagi kalau kamu ya jangan formal-formal begitu… Biar suasananya akrab…”

Lalita Maningka,
            “Saya, Tuanku…”

Antawis Maekani,
            Mbok ya jangan panggil saya Tuanku, ya…”

Lalita Maningka,
            “Saya, Tuanku…

Antawis Maekani,
            “Panggil saja Mas… Mas Antawis…”

            Lalita Maningka,
            “Baik, Tuanku…”

Antawis Maekani, membetulkan,
            “Mas… Mas Antawis.…”

            Lalita Maningka,
            “Iya, Mas Antawis…”

Antawis Maekani,
            “Nah, begitu kan lebih romantis…”

Dengan telaten Lalita Maningka kembali melayani Antawis Maekani. Memberinya jamu. Sikapnya lembut. Kadang mengusap membersihkan bekas jamu di bibir Antawis. Antawis jadi malu, tapi suka dan tampak bahagia.

Dari sebuah sudut, di kejauhan, muncul Kolonel Kalawa Mepaki dan Tuan Pitaya Mentala. Tampak keduanya mengamat-amati Lalita dan Antawis yang tengah bercengkerama penuh kemanjaan. Kolonel Kalawa mengekspresikan ketidaksukaannya. Rasa-rasanya ia ingin melabrak, menumpahkan kecemburuan dan kemarahannya. Tapi Tuan Pitaya Mentala menahannya,

Tuan Pitaya Mentala,
Ente musti sabar… Kalau ente tabah dan tawakal, ente pasti mendapatkannya!.. Sekarang saatnya melanjutkan rencana kita”

Kolonel Kalawa melempar koinnya, melihatnya, dan tersenyum. Kemudian Kolonel Kalawa dan Tuan Pitaya lenyap dari pandangan.

Sementara Antawis Maekani dan Lalita Maningka, terus bercengkerama dengan segala kemanjaannya. Seperti tak menyadari kepungan bahaya di sekelilingnya.


Bayang Petang yang Memanjang

Rembang petang datang, menghatar bayang-bayang panjang. Lalita Maningka dan Antawis Maekani masih bercengkerama, seakan tak menyadari bayang-bayang yang menyelusup masuk istana itu. Bayang-bayang ini, bisa digambarkan dengan permainan bayang-bayang di layar bagian belakang panggung. Pada layar itu terlihat bayangan kaki yang berlarian. Mula mula kaki yang mengambarkan orang-orang. Lalu bayangan kaki bersepatu laras yang berlarian menderap. Seperti mengejar. Seperti mengepung. Bayang-bayang kaki itu muncul bersamaan musik kecemasan yang perlahan mengepung.

Lalita Maningka mendadak bangkit, tampak waspada, seperti mendengar bayang-bayang yang mulai mendekat dan mengepung istana.

            Antawis Maekani, heran melihat Lalita,
            “Ada apa?”

            Lalita Maningka,
            “Ternyata mereka sudah bergerak…”

Antawis Maekani,
            “Mereka siapa?”

            Lalita Maningka,
            “Mereka menginginkan kematian Tuanku…”

            Antawis Maekani, makin bingung dan ikutan panik,
            “Mereka siapa?”

Bayang-bayang itu makin berlarian bersliweran, seperti ada kekacauan, dimana orang-orang lari berhamburan. Kemudian disusul teriakan-teriakan penuh tenaga tuntutan,

Teriakan-teriakan,
            “Turunkan Presiden! Turunkan Presiden! Turunkan Presiden!”

Lalita Maningka,
“Kini mereka sudah mengepung istana. Apa yang bisa menghentikan rakyat yang marah?!”

Antawis Maekani,
            “Kenapa mereka marah?”

Lalita Maningka, terasa gentar juga, seakan lebih bicara pada dirinya sendiri,
“Saya kira saya bisa mengendalikan mereka. Tapi ternyata ini hanya bom waktu yang saya tunda ledakannya. Mereka lebih licin ternyata…”


Teriakan-teriakan, makin mengepung membahana,
            “Turunkan Presiden!! Turunkan Presiden!! Turunkan Presiden!!”

Antawis Maekani, panik dan bingung,
“I..ini ada apa, toh?”

Lalita Maningka,
“Kamu Presiden dan suamiku yang paling menyenangkan, tapi kamu juga yang paling malang. Kamu mesti menanggung semua permainan konyol ini, tanpa pernah kamu mengerti…””

Antawis Maekani, bingung,
“Mbok jangan ngomong sendiri begitu… Saya dijelasin gitu lho…”

Antawis Maekani,
“Apa kau akan memahami, bila aku jelaskan semuanya Antawis? Tuan Pitaya yang menghasut kekacauan ini. Ia sengaja memancing pasukan Kolonel Kalawa bergerak. Mereka pengendang dan penari kekacauan ini. Darah akan kembali tumpah di mana-mana, dan hanya bisa dihentikan dengan kematianmu… Pergilah. Para pengawal setiaku akan berusaha menyelamatkanmu. Aku tak tahu apakah yang kulakukan ini salah… Aku hanya ingin menyelatkanmu, Antawis… Pergilah…”

Teriakan-teriakan, makin mengepung membahana,
            “Turunkan Presiden!!! Turunkan Presiden!!! Turunkan Presiden!!!”

Bayang-bayang kaki-kaki yang berlarian makin menggelombang. Mengepung dari mana-mana. Lalita Maningka segera memberi isyarat agar dua serdadu yang sedari tadi menjaga mereka segera membawa pergi Antawis Maekani.

Teriakan-teriakan, makin mengepung membahana,
            “Turunkan Presiden!!! Turunkan Presiden!!! Turunkan Presiden!!!”

Antawis Maekani yang kebingungan hanya bisa bengong ketika dua prajurit itu membawanya pergi. Lalita Maningka memandangi bayang-bayang yang datang mengepungnya. Ia terlihat gugup, tetapi mencoba tetap anggun dan tenang. Sementara teriakan makin menggemuruh dan mengepung, Lalita Maningka tampak cemas. Ia memandangi kursi singgasana itu ragu. Seperti memikirkan sesuatu. Ia hendak pergi, tapi kursi itu seperti menahannya. Ia seperti tak bisa pergi dari kursi itu. Bimbang. Kemudian ia memutuskan untuk duduk di kursi itu. Dan selubung kelambu segera menutupinya. Menyembunyikannya. Kini hanya tampak bayangan Lalita Maningka yang terduduk di kursi singgasana itu. Sementara bayang-bayang kaki-kaki bersepatu serdadu yang berlarian, surut lenyap.

Muncul beberapa serdadu. Langsung mengambil posisi mengepung selubung kelambu singgasana. Senjata mereka terarah siap ditembakkan. Sambil menyeret kakinya yang pincang, Kolonel Kalawa muncul dengan perasaan penuh kemenangan. Ia pun segera mengamati selubung kelambu itu, di mana tampak bayangan yang tengah duduk pasrah, bagai menanti kematian menghukumnya. Kolonel Kalawa mengambil pistolnya, kemudian mengarahkannya ke bayangan dalam selubung kelambu itu. Ia siap menembak, ketika terdengar teriakan Tuan Pitaya,

Suara Tuan Pitaya Mentala,
            “Tunggu, Kolonel!!”

Muncul Tuan Pitaya Mentala, gugup tergesa.

Tuan Pitaya Mentala,
            Ane hanya hendak mengingatkan…”

Kolonel Kalawa Mepaki, memotong tegas dan geram,
“Bahwa secara konstitusi tindakan saya ini tidak dibenarkan, begitu?! Kita tak lagi membutuhkan orang tolol ini!”

Tuan Pitaya Mentala,
            “Maksud ane….”

Tapi Kolonel Kalawa Mepaki sudah tak memperdulikan lagi. Langsung ia menembak berkali-kali ke arah selubung kelambu itu. Cahaya merah menerangi selubung kelambu itu, seperti darah yang membuncah. Bayang-bayang yang panjang itu bagai makin menghitam, seakan bayangan maut yang menangkup mendekat.

Tuan Pitaya Mentala,
“Maksud ane…. Ane tadi mau mengingatkan… Sebelum menembak, ente jangan lupa ama koin ente…”

Mendengar itu, Kolonel Kalawa Mepaki menjadi sadar: bahwa tadi ia belum melempar koinnya. Ia menjadi gugup. Cepat merogoh sakunya. Gemetar tangannya meraih koin itu. La melempar koin itu, tinggi, dan tanggannya yang gemetar tak bisa meraih kembali koin itu. Koin itu jatuh menggelinding ke tanah. Dengan bunyi musik yang mengiringi bunyi jatuhnya koin jatuh menggelinding. Seakan gerakan slowmotion…

Melihat itu Kolonel Kalawa Mepaki terlihat bergetar merinding hebat. Segera ia membuka selubung kelambu itu: dan terpana menyaksikan Lalita Maningka yang terkulai di singgasana. Segera Kolonel kalawa meraung panjang,

Kolonel Kalawa Mepaki,
            “Terkutuklah kau Tuan Presideeeennnnn!!!!!!!”


Mayat dalam Sarung


Menjelang tengah malam. Jalan kampung itu tampak sunyi. Tetapi kelengangan itu mendadak terusik oleh sesosok bayangan orang yang terhuyung sembari memakai sarung. Tak jelas siapa orang itu, karena wajah dan tubuhnya tersembunyi dalam sarung. Orang itu tampak begitu kepayahan, gontai, dan sesekali jatuh karena kelelahan yang sangat. Sampai kemudian orang itu akhirnya terjerembab, nyaris masuk selokan.

Seperti menguntit orang itu, muncul Awuk, bagai anjing kampung tak terurus. Ia mengendus-endus, lalu berhenti pada tubuh orang dalam sarung itu. Sesekali Awuk menyalak, mengendus dan menjilati tubuh yang tergeletak itu.

Terdengar kentongan peronda, yang tengah menjaga desa. Lantas muncul dua orang peronda, menabuh kotekan kentongan. Sampai kemudian, salah seorang peronda itu melihat sesosok tubuh yang tergeletak, dan segera mengamati dengat teliti.

            Peronda,
            “Ada mayat lagi…”

            Peronda,
            “Pasti dilempar dari truk yang melintas tadi…”

Peronda,
“Baru saja dua jam lalu kita mengubur korban penembakan misterius. Kini sudah dikirimin mayat lagi.

Seorang peronda segera menabuh kentongannya, bertalu-talu, titir kematian yang getir. Bergegas muncul Kapilka dan Mulati serta penduduk. Mereka segera mengerubung mayat itu.

            Seseorang,
            “Korban petrus lagi?”

Orang itu tampak hendak menolong. Hendak mengangkat. Tetapi tiba-tiba tubuh dalam sarung ia menggeliat. Menggerang kepayahan. Membuat orang yang hendak menolong ituterjengat.

Seseorang, latah,
            “Eh kucing, eh copot… Masih hidup!”

Seseorang,
            “Buset dah. Bikin kaget ajah lu!... Cepet tolong…”

            Seseorang, latah,
            “Eh iya, tolong, tolong…
            Seseorang,
            “Kasih air…”

Seseorang hendak memberi kendi yang dibawanya.

            Kapilka, menahan,
            “Awas! Siapa tahu mata-mata!”

Seseorang, latah,
“Eh iya, mata, mata…”

Seseorang, mengagetkan,
“Mata siapa!”

Seseorang, latah,
“Matamu eh matamu…”

Seseorang,
“Aneh kamu, Kapilka! Orang sekarat dituduh mata-mata…”

Mulati,
“Siapa tahu dia memang perusuh!”
           
            Kapilka,
“Kalau kalian mau nolong, silakan… Tapi kalian ingat Kunapi, kan? Ia hanya membantu menguburkan mayat yang ditemukan di pekarangannya. Dua jam kemudian datang pasukan berseragam, membunuh dan membakar rumahnya. Dia dituduh membantu perusuh!”

            Mulati,
“Atau nasib Kadosta. Hanya karena berkenalan dengan orang di pasar, ia ditangkap karena dicurigai berhubungan dengan para penentang Presiden! Semua serba kacau. Kabarnya Presiden diculik pemberontak. Kolonel Kalawa memburu semua penentangnya. Katanya Ibu Negara sudah mati…”

Seseorang,
“Apa kaitannya ama orang ini?”

Kapilka,
“Mungkin ini jebakan!

Terdengar orang dalam sarung itu meracau, minta air…




Seseorang,
“Bagaimana kalau dia intel? Ia pura-pura sekarat… Bila kita tak menolongnya, ia akan lapor, dan kampung kita akan dibakar karena dianggap menentang pemerintah…”

            Orang dalam Sarung,
            “Tolong… Air… Air…”

            Seseorang,
            “Bagaimana? Ditolong tidak nih?!”

Mereka saling pandang, tapi akhirnya seseorang memberanikan diri memberinya air. Orang itu dengan gemetar meraih kendi yang disodorkan. Tangannya gemetar. Wajahnya masih tertutup sarung. Orang-orang itu memandang penuh rasa iba dan kasihan. Lalu seseorang segera memberinya pisang yang kebetulan dibawanya. Orang itu dengan senang sekali menerimanya, dan segera mengupas pisang itu. Memakannya. Pada saat itulah, karena kedua tangannya sibuk dengan pisang yang dimakannya, sarung yang menutupi wajah itu melorot jatuh, hingga tampak wajah orang itu. Serentak orang-orang itu begitu kaget…

Orang-orang, nyaris serem,pak
            “Tuan Presiden!!!”

            Seseorang,
            “Bangsat! Kenapa tadi tak membiarkannya mati!”

Orang itu langsung merebut kendi yang tadi diberkannya.

            Seseorang, cepat merebut pisang yang tadi diberikannya,
            “Sini!!” Lalu meludahi.

Orang dalam sarung itu, yang ternyata memang Antawis Maekani, tampak bingung gemetar ketakutan.

Seseorang,
            “Bertahun-tahun kamu mencuri! Kini secuil pisangku pun kamu ambil!”

Seseorang,
            “Dasar rampok!”

Seseorang,
            “Penindas!!”

Orang-orang itu terus memaki, menghujat, sambil menendang dan mulai melempari Antawis Maekani. Kapilka dan Mulati, tampak bingung. Lalu orang-orang itu mulai menyeret Antawis Maekani, memukuli. Kapilka dan Mulati saling pandang, tampak bingung, ragu-ragu. Tapi akhirnya mereka juga ikut memukuli, malah tampak paling begitu semangat saat menghajar. Awuk menggonggong terus menyaksikan pengeroyokan itu.

Muncul Marani Antawis…

            Marani Antawis,
            “Berhentiiiiii!!!!”

Orang-orang yang mengeroyok itu langsung mundur, dan Marani langsung memhambur memeluk suaminya. Kapilka dan Mulati tampat serba salah.

            Marani Antawis, kepada anaknya,
            “Keterlaluan kalian!”

            Kapilka,
            “Sudah sepantasnya ia dicincang!”

Marani Antawis,
            “Dia Ayahmu, Kapilka!”

            Mulati,
            “Dia yang membuat hidup kita menderita!”

            Marani Antawis,
“Kalau kamu masih menganggap aku ibumu, maka kamu juga harus mengakui ia ayahmu!”

Kapilka,
“Selama ini saya menentangnya.”

Marani Antawis,
“Bukan begini cara menentang seorang anak pada ayahnya!”

            Seseorang, nampak sebel,
“Wah, wah… kalau begini sih sudah jadi urusan keluarga! Kalau memang mau saling bunuh, silakan…” Kepada yang lain, “Ayo kita pergi…”

Maka orang-orang pun pergi. Tinggal Kapilka, Mulati, Marani dan Antawis Maekani, serta Awuk yang tampak meringkuk di sebuah sudut.

            Marani Antawis, memelut suaminya, mencoba menolong,
            “Kakang… Itu anak-anakmu…”

            Antawis Maekani, memandang lekat, penuh kerinduan,
            “Kapilka?... Mulati?”

Tapi Kapilka dan Mulati menghindar ketika Antawis hendak menyentuhnya.

Marani Antawis,
            “Maafkan Ayahmu…”
           
Kapilka,
            “Saya tak pernah punya ayah yang memerintahkan menembaki para demonstran!”

Antawis Maekani, tampak bingung tak faham,
            “Nembaki? Saya nggak ngerti…”

            Mulati,
“Jangan pura-pura lupa! Kamu yang membakar kota! Kamu yang menyuruh para pengawal bayaran itu mempererkosa para warga!

Marani Antawis,
            “Ayahmu tidak seperti yang kamu sangka, Mulati…”

            Antawis Maekani,
“Membakar kota? Pengawal bayaran? Saya nggak ngerti apa yang kamu omongin…”

            Kapilka,
“Kamu memang nggak akan mungkin ngerti kesengsaraan kami, karna kamu terlalu lama duduk di singgasana!”

Antawis Maekani,
            “Itu bukan singgasana…, tapi penjara.”

            Marani Antawis,
            “Maafkan kekasaran anak-anakmu…”

Antawis Maekani mencoba bangkit, meski limbung. Ia berdiri gemetar. Menatap kedua anaknya yang bagai tak lagi dikenalinya.

            Antawis Maekani,
“Saya nggak ngerti apa yang kalian omongkan… Saya nggak ngerti kenapa kalian begitu membenci ayahmu ini…”

Mulati,
“Saya memang tak pernah bangga punya ayah Presiden macam kamu!”
Antawis Maekani,
“Tak apa kalian tak percaya…Tak apa kalian tak mengerti… Saya sendiri juga ndak ngerti kok apa yang terjadi…Tak apa kalian membenci saya… Saya tetap mencintai kalian…”

Antawis Maekani mengulurkan kembali tangganya. Ia masih lelah dan limbung. Sementara Kapilka dan Mulati tampak gelisah. Tapi tampak merka begitu iba melihat ayah mereka yang begitu rapuh. Mereka seperti akan mendekat, tetapi seperti masih ada perasaan yang menahannya. Ayah dan anak itu hanya saling pandang gamang.

Saat itulah muncul seorang warga, tampak cemas…

            Seorang Warga,
“Kalau kalian masih mau bertengkar, tolong jangan di sini. Lima truk serdadu sudah datang. Kami tak ingin mereka membakar kampung ini, hanya karena menemukan kalian di sini…”

Sambil menetap tajam, orang itu buru-buru berbalik pergi lagi. Terdengar deru suara truk. Awuk yang tengah meringkuk, langsung terjaga, menajamkan pendengarannya waspada. Ia seperti mendengar derap para serdadu yang memburu itu. Awuk menyalak pakik terus menerus…

            Awuk,
            “Guk guk guk guk guk…”

Suara truk yang menderu itu bagai makin dekat. Marani Antawis segera menarik suaminya. Kapilka dan Mulati segera menyusulnya. Mereka lenyap dari pandangan. Tinggal Awuk yang terus menyalak kencang.

Muncul beberapa serdadu, yang segera menyisir tempat itu. Tapi mereka hanya menemukan Awuk yang menggonggong gelisah. Mereka segera meringkus Awuk, dan menyeret membawanya pergi.


Bunga dan Pita Duka Cita


Lagu duka cita. Lagu gugur bunga yang penuh kesedihan. Bunga-bunga putih berguguran dari langit seperti air mata lembut terbuat dari kapas. Tampak, disatu sisi bagian panggung, Kolonel Kalawa Mepaki berdiri di depan peti jenasah yang tertutup untaian bunga. Pita hitam duka cita, leingkat di lengat Kolonel Kalawa. Begitu pun juga Tuan Pitaya Mentala, ia tampak ingin terlihat merasakan kesedihan juga. Para serdadu berdiri penuh hormat.

Kolonel Kalawa Mepaki,
Kita kehilangan orang yang paling kita cintai. Ibu Suri kita, yang telah mendarmabaktikan seluruh hidupnya untuk menemani para Presiden kita, telah mangkat. Ia Ibu Negara teladan kita. Sejarah hidupnya adalah bagian terpenting sejarah Republik ini. Seperti dalam lagu, kita akan selalu mengenangnya sebagai Putri Sejati yang harum namanya. Saya, secara pribadi, benar-benar merasa kehilangan…”

Kolonel Kalawa Mepaki berjalan, dan tiba-tiba Tuan Pitaya Mengingatkan…

Tuan Pitaya Mentala,
            “Kaki ente, Kolonel…”

Kolonel Kalawa langsung sadar, kalau ia tadi tak berjalan pincang. Segera ia pun membuat kakinya pincang ketika berjalan…

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Kita telah ditempa sejarah utuk menjadi bangsa yang tak gampang goyah dalam gelimang darah. Ini akan menjadi Hari Kesaktian bangsa kita. Kesaktian inilah yang membuat kita berhasil menangkap para teroris yang membunuh Ibu Negara…”

Pada saat inilah, pada bagian sisi lain panggung muncul cahaya, hingga tampak Marani Antawis, Kapilka dan Mulati, yang duduk bersimpuh, dengan mata tertutup kain hitam, dan kedua tangan terikat. Di belakang mereka, tarlihat bayangan algojo yang menjulang. Algojo itu tampak membawa golok besar.

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Mereka adalah para teroris anggota Petisi Tiga. Mereka –  Marani, Kapilka, Mulati – juga terbukti menculik dan membunuh Presiden kita. Selama ini mereka menyamar dengan pura-pura menjadi keluarga almarhum Presiden. Seperti psikopat, mereka telah memutilasi tubuh Presiden. Membuang potongan-potongan tubuhnya ke dalam jurang. Itu adalah kejahatan yang menteror kita! Tapi kita tak boleh tunduk pada para teroris yang merongrong Republik ini…”


 Tuan Pitaya Mentala,
            “Ini sesuai dengan konstitusi…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Cukup, Tuan Pitaya!!!” Lalu berteriak lantang, sekan memberi komanda pelaksanaan eksekusi. “Karna itulah, pada hari yang bersejarah ini, kita akan memancung mereka…”

Kapilka, Mulati, Marani Antawis, yang bersimpuh gemetar menunggu hukuman itu langsung memekik berteriak seretak, sambil mengacungkan tangan,

            Kapilka, Mulati, Marani Antawis,
            “Hidup Presiden! Hidup Presiden! Hidup Presiden!”

Langsung, bayangan algojo itu mengayunkan pedang, memancung. Dan lampu di bagian ini langsung blackout.


Seekor Anjing di Atas Tahta

Kolonel Kalawa Mepaki melanjutkan pidatonya. Tapi sebelumnya, ia melemparkan koinnya terlebih dulu. Ia tampak senang ketika memandang koin dalam genggamannya itu.
Kolonel Kalawa Mepaki,
“Luar biasa!” Lalu kembali melempar, dan berseru begitu melihat kembali koinnya, “Luar biasa!” Segera ia menghadap pada semua yang hadir, menghadap kearah penonton. “ Sekarang tibalah kita pada pucak sejarah kita yang luar biasa. Kita akan menobatkan Presiden baru kita.”

Terdengar lengking sangkala kebesaran.


Tuan Pitaya Mentala,
“Segala kesetiaan dan kehormatan akan kita junjung untuk Presiden kita. Karna itu, sesuai konstitusi, diharap semua yang hadir untuk takzim berdiri. Mari para penonton semuanya, mohon berdiri…Mari, dengan segala hormat, saya mohon agar semua penonton berdiri…”

Begitulah, Tuang Pitaya Mentala terus meminta para yang hadir, para penonton untuk berdiri. Begitu semua penonton berdiri, terdengar suara khas perempuan pembawa acara yang muncul melalui pengeras suara,

Suara Wanita Pembawa Acara,
“Penghormatan kepada Presiden kita tercinta… Hadirin di mohon berdiri…”

Kemudian seorang serdadu maju ke tengah, meneriakkan aba-aba penghormatan,

            Seorang Serdadu,
            “Kepada Presiden kita tercinta… Hormat senjataaaaaa….grakkk!!!”

Terdengar gemuruh senjata diangkat. Berjuta-juta senjata. Yang bagai teracung ke udara. Kemudian perlahan-lahan cahaya menerangi pusat selubung kelambu itu, hingga muncul bayangan singgasana. Samar, terlihat bayangan seseorang yang duduk di singgasana itu. Diiringi genderang agung, selubung kelambu itu pun terangkat. Lalu terlihat Awuk duduk bersimpuh pada dua kakinya, seperti seekor anjing yang duduk di singgasana. Mengenakan mahkota. Lidahnya tampak terjulur.  Bulan yang keemasan muncul pada bagian belakang, seperti muncul dari balik perbukitan. Bulan itu terang dan bundar. Hingga Bayangan Awuk tampak seperti silhuet serigala yang duduk di atas bukit. Ketika semua menggelap, dan tinggal cahaya keemasan dari bulan, saat itulah terdengar Awuk melolong panjang. Terus melolong-lolong panjang…

SELESAI

Yogyakarta, 2001-2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar